Selasa, 30 Desember 2008

Birokrasi dan Politik di Daerah

Didalam pemerintahan daerah, sekretaris daerah memiliki peran yang vital, tidak hanya mengkoordinasikan kegiatan pembangunan didaerah. Lebih dari itu, sekretaris daerah adalah pucuk pimpinan birokrasi di daerah. Namun masalahnya sekretaris daerah kedudukannya tidak sekuat kewenangan yang dimilikinya. Sekretaris daerah jelas dipilih berdasarkan pertimbangan yang tepat oleh kepala daerah berdasarkan kesamaan visi mereka akan dibawa kemana daerah tersebut. Kita juga mengetahui semenjak keran demokrasi telah terbuka, yang menjadi kepala daerah bukan lagi berasal dari pejabat karir didaerah atau TNI/Polri aktif. Kepala daerah dipilih saat ini benar-benar merupakan pilihan rakyat, bisa dari pengurus parpol, pengusaha, pensiunan TNI/Polri atau siapapun mereka yang memiliki daya jual tinggi. Terkadang mereka yang terpilih menjadi kepala daerah ini memiliki pemahaman yang kurang mumpuni dibidang pemerintahan, namun karena dia adalah pucuk pimpinan tertinggi didaerah, maka seluruh kebijakan dijalankan seluruhnya atas keinginan dan kemauannya. Tentu perlu juga kita dipahami bahwa birokrasi adalah netral. Mereka bekerja berdasarkan aturan-aturan yang telah baku dan mengikuti perundang-undangan yang berlaku. Walaupun mereka berada dibawah kewenangan politis, namun pekerjaannya tidak. Harus didudukkan kembali, bahwa yang menjadi tugas dari aparat birokarasi adalah pelayanan kepada rakyat, bukan yang lainnya. Artinya mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas, pejabat eselon lainnya hingga kepada pegawai rendahan adalah birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat.

Sesuatu yang menjadi kendala adalah selain mereka harus netral, tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi masih tetap berada dibawah kepentingan politis. Senetral-netralnya seorang birokrat pemerintahan pada akhirnya akan bias. Hingga kalau dirasakan, warna suatu pemerintahan pasti merupakan warna dari kepala daerah itu. Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi masalah, jika kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja, namun apabila terjadi berbagai pembelokan, dapat dipastikan bahwa birokrasi tidak berjalan dengan netral. Untuk itu penting kiranya mereposisi kembali dimana sebenarnya kedudukan seorang sekretaris daerah. Dari tinjauan akademis sebagaimana yang dinyatakan oleh Carino (1994) dalam Thoha (2005) dinyatakan bahwa suatu birokrasi terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu birokrasi sebagai bagian atau subordinasi politik (Executive Ascendancy) ataukah birokrasi yang sejajar dengan politik (Bureaucratic Sublation atau attempt at co-equalitywith the executive).

Bentuk dari birokrasi sebagai subordinasi dari politik adalah kenyataan sebagaimana yang sekarang ini kita jumpai disemua bentuk pemerintahan daerah di Indonesia. Kepala daerah memilih sekretaris daerah dan selanjutnya berarti bahwa semua kebijakan di daerah berada dibawah kewenangan kepala daerah. Sekretaris daerah atau dalam hal ini perwujudan dari birokrasi tertinggi hanya berkewajiban menjalankan kebijakan saja. Tidak ada daya tawar (bargaining power) dengan pihak eksekutif, karena memang politiklah yang menjadi panglimanya. Sehingga apapun yang telah diputuskan kepala daerah wajib dijalankan oleh seluruh level aparat birokrasi (pemerintah).

Sedangkan yang kedua yaitu Bureaucratic Sublation yang diartikan sejajar. Namun makna sejajar disini bukan berarti bahwa kepala daerah dan sekretaris daerah kedudukannya sama. Dalam prakteknya sekretaris daerah tetaplah dipilih oleh kepala daerah, namun sebagai kepala birokrasi pemerintahan didaerah, seorang sekretaris daerah memiliki kedudukan yang sejajar dengan kepala daerah. Sehingga kepala daerah tidak memiliki intervensi yang besar terhadap PNS yang ada disuatu daerah. Intervensi disini bisa mencakup banyak hal, termasuk pengkariran pegawai, penempatan tugas, jabatan, termasuk juga kesejahteraan pegawai. Artinya walaupun seorang sekretaris daerah itu ditunjuk dan dipilih oleh kepala daerah, namun tidak berarti bahwa apapun warna kepala daerah akan menjadi warna dari pemerintahan dengan melibatkan pegawai yang ada. Sehingga yang diharapkan muncul adalah tidak terjadinya main mata dengan kekuasan politis, lebih terjaga netralitas pegawai serta menambah sikap profesionalime dalam bertugas.

Tentu saja ide yang kedua ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Sehingga masih perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai kedudukan sekretaris daerah pada pemerintahan ditataran daerah. Bukan berarti bahwa sistem yang sekarang, dimana birokrasi merupakan subordinasi politik itu jelek, dan bukan berarti juga jika birokrasi sejajar dengan politik, maka pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Semuanya tentu memerlukan perhitungan yang lebih cermat. Pada akhirnya kita berharap baik sistem yang ada maupun personal yang menjalankannya dapat berjalan dengan sinergis. Sebagaimana pameo yang sering kita dengar bahwa : “Sistem yang baik tanpa ditunjang dengan manusia yang baik akan menimbulkan kekacauan, sedangkan manusia yang baik tetapi berjalan pada sistem yang tidak baik maka akan menimbulkan banyak permasalahan”.

Sumber gambar : Miftah Thoha, Model-Model Dalam Membangun Birokrasi Pemerintahan, 2006.

Wallahu ‘alam

Rabu, 24 Desember 2008

Cerita Tentang Arun Gandhi

Saya ingin berbagi pengalaman berharga ketika saya sebagai orangtua ikut kembali bersekolah. Pendidikan untuk orangtua yang dilaksanakan selama 2 (dua) hari yaitu pada tanggal 13-14 Desember 2008 didukung oleh Rumah Sakit Ibu dan Anak Zainab Pekanbaru, Biro A'iliyah dan Auladi Parenting School memberikan banyak pengalaman berharga bagaimana mendidik anak sebagai buah terkasih. Ternyata banyak dari kita memang sudah siap untuk menikah, namun ternyata belum siap untuk memiliki anak. Banyak sekali cerita yang menyedihkan ketika anak menjadi sasaran pelampiasan kemarahan, ataupun karena kesalahan yang kecil yang dibuatnya anak tersebut terganggu psikologisnya hingga ia dewasa. Tentu kita tidak ingin menjadi orangtua yang seperti itu, kita tentulah menginginkan anak-anak kita kelak menjadi orang yang bermartabat, memiliki budi pekerti luhur serta berakhlakul karimah. Sebagai pendidik pertama, kita harus mampu mengarahkan mereka ke jalan yang penuh barakah ini. Salah satu kisah nyata tentang cara mendidik anak tanpa kekerasan dan menumbuhkan keteladanan seumur hidupnya dapat kita baca dalam cerita berikut ini. Semoga cerita yang saya kutip ini dapat menjadi renungan kita bersama. Selamat Menikmati.....

Berikut ini adalah cerita masa muda Dr. Arun Gandhi (cucu dari Mahatma Gandhi - Pendiri Lembaga M.K.Gandhi)

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan.

Kami tinggal jauh dipedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, “Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”

Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, “Kenapa kau terlambat?”

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, “Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.” Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.

Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi.

“Sering kali saya berpikir mengenai peristiwa ini dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.”

Sumber : http://www.yauhui.net/kekuatan-tanpa-kekerasan/

Selasa, 09 Desember 2008

Bahasa dan Makna

Mungkin karena dianggap bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, maka segala tindak tanduk yang dilakukan mestilah menunjukkan bahwa kita memang berbudaya. Tak terkecuali bagaimana menggunakan lisan tuk berbicara. Walhasil dengan menggunakan bahasa yang lebih berbudaya, maka beberapa kata dalam bahasa Indonesia mengalami pembiasan arti. Contoh saja untuk menyebut orang miskin, sepertinya kurang enak didengar, gak etis jika dibicarakan. Orang lebih nyaman jika menyebut orang miskin sebagai orang yang kurang mampu. Kedengarannya renyah, lebih beradab, dan tidak menyinggung perasaan yang menjadi topik bahasan. Tentu saja bisa dimaklumi kalau tujuan dari bahasa tadi hanya untuk memperhalus dan menunjukkan orang tersebut memiliki budaya yang tinggi. Namun dari bahasa juga akan mengarahkan seperti apa suatu kebijakan akan dibuat. Dalam tataran kebijakan negara, kata-kata kurang mampu bisa diartikan bahwa orang tersebut adalah orang yang sudah memiliki tetapi kurang berharta. Kurang pun disini masih bisa diartikan banyak sekali versinya. Kurang berapa banyak, persentasenya berapa, sehingga indikatornya tidak jelas. Akibatnya orang-orang miskin yang lebih dimanusiakan dengan kata-kata kurang mampu, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai orang miskin. Dalam kasus kisruh pembagian BLT, pembiasan kata-kata tadi bisa berakibat fatal. Karena dianggap kurang mampu, pada akhirnya yang bertugas mendata pun tidak mencatat mereka sebagai orang miskin. Karenanya banyak juga dari orang miskin yang tidak mendapat jatah BLT, gara-gara hanya dikategorikan sebagai orang yang kurang mampu. Besar kan pengaruhnya dari kata-kata yang lebih berbudaya ini terhadap kebijakan negara.

Ada lagi kasus lain yaitu untuk lebih menghormati keprofesian sekelompok orang, dengan alasan persamaan hak azazi manusia, maka istilah pelacur diperhalus menjadi wanita tuna susila. Padahal profesi yang dilakoninya sama, orangnya pun sama juga, kenapa juga perlu dibuat perubahan. Toh menurut saya nilai yang dikandung dari bahasa itu sama saja. Apa dengan menggubah bahasa membuat profesi tersebut lebih terhormat? Saya pikir tidak juga. Jika menonton televisi khususnya acara ”buser” dan ”patroli”, tidak ada pengaruhnya bagi aparat hukum entah itu pelacur atau wanita tuna susila, tetap saja menjadi sasaran penangkapan untuk dibina dipanti-panti sosial. Terus apa efek dari memperhalus bahasa tadi.? Jika dilihat tujuan mereka yang memperhalus bahasa, maka jelas tidak ada juga pengaruhnya tehadap ”karir” seseorang dibidang itu.

Jika memang tujuan dari memperhalus bahasa itu adalah untuk membuat seseorang lebih terhormat dan lebih bermartabat, maka saat ini kita harus mengajak para ahli bahasa untuk merumuskan berbagai kebijakan negara. Selain itu supaya tidak timbul kerancuan makna dari yang mendengar atau membaca kata-kata tersebut, kalau kita bersepakat, mari kita rubah kembali EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), agar memang kita lebih menjadi bangsa yang lebih berbudaya dan lebih bermartabat. Jika tidak bersepakat, maka konsekuen saja menggunakan bahasa yang sudah ada, tidak lagi perlu ada penambahan atau penggantian kata-kata yang akhirnya malah menimbulkan kerancuan saja.

Bagaimana menurut saudara usulan yang kita perbincangkan ini. Saya ”salah” atau ”kurang benar” ya......?

Wallahu ‘alam

Rabu, 26 November 2008

Serahkan Pada Ahlinya

Apel pagi pertama setelah pelantikan Gubri dan Wagubri di Gubernuran tanggal 24 Nopember 2008 kemarin berlangsung cukup khidmat. Dalam pidatonya, Gubri mengingatkan kembali akan pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance), dan bagaimana pencapaian kinerja dari tiap SKPD. Namun kegiatan seremonial ini menjadi sedikit berbeda disaat pembacaan doa. Menurut saya, inilah yang sepertinya renyah untuk diperbincangkan.

Pembaca doa, saat itu mengajak kepada seluruh peserta apel untuk bermunajat agar SOTK baru di Pemerintah Provinsi Riau nantinya benar-benar membawa kemaslahatan kepada masyarakat. Kemudian peserta apel kembali diajak berdoa agar kiranya pejabat yang akan menduduki SOTK yang baru nantinya benar-benar merupakan orang yang tepat, dan memang ahlinya pada bidang tersebut. Tak lupa beliau mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW : “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah akan kehancurannya”. Kutipan yang sangat pas dengan tema doa.

Doa yang disampaikan oleh yang bertugas pada hari itu menurut saya bukan hanya sekedar doa saja. Ada suatu keinginan baru yang dimohonkan, harapan akan adanya perubahan. Kata kunci yang bisa ditangkap dari untaian doa yang indah itu adalah profesionalisme. Seperti sudah sangat rapi dan diatur oleh-Nya, pidato yang berisikan tentang pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance) ini kemudian lalu ditutup dengan munajat bersama memohon agar pejabat-pejabat yang ditunjuk nantinya adalah mereka yang merupakan ahli dibidangnya

Sudah sangat tepat kiranya padanan dari dua kutub yang bersinergis ini. Good governance hanya dapat diwujudkan dengan adanya pejabat-pejabat yang profesional saja. Ini merupakan kebutuhan yang tidak dapat disubstitusikan. Konteks profesional yang diharapkan pun adalah dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dimana mereka tidak hanya merupakan orang yang ahli dibidangnya saja, lebih dari itu profesional juga adalah mereka yang bisa memberikan teladan kepada institusi dimana mereka bekerja. Dengan demikian antara pencapaian good governance dengan profesionalisme adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kedua-duanya saling terikat, berkelindan, dan saling memperkuat. Semoga munajat kita di pagi senin itu mendapat ijabah dari-Nya. Amiin...

Wallahu ‘alam

Kamis, 13 November 2008

Ketika Peran Pemerintah Dipertanyakan

Apa Peran Pemerintah ?

Ketika pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa disaat krisis ekonomi global datang, ketika pemerintah dipertanyakan sikapnya disaat harga jual minyak dunia sudah menurun, tetapi harga BBM subsidi masih tetap saja tidak berubah. Apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah ini. Apa tugas pemerintah hanya beramai-ramai melakukan panen raya bersama disaat panen sedang surplus, ataukah memfasilitasi perjalanan haji yang pada tahun sebelumnya banyak jamaah yang kelaparan karena ketidakberesan pengelolaan catering di Saudi Arabia sana. Memang perlu dipertanyakan kembali, seberapa jauh peran pemerintah dalam melayani masyarakatnya. Apakah tugas pemerintah itu membuat berbagai macam aturan yang mengikat, sehingga jelas kedudukannya bahwa pemerintah adalah yang memerintah, sedangkan masyarakat adalah yang diperintah.

Mereka dan Kita

Di negara-negara maju, diantaranya G-7, telah terjadi banyak sekali perubahan peran pemerintah. Pemerintah tidak lagi dianggap segalanya, sentral dari segala sentral kehidupan bernegara. Pemerintah dijadikan sebagai motivator dan fasilitator dalam segala aspek kehidupan, terutama bidang ekonomi. Pemerintah hanya mengatur hal-hal yang dianggap perlu saja dan tidak menyelenggarakan semua aktifitas pelayanan. Bisa dimaklumi, hal tersebut terjadi karena perkembangan industri dan jasa dijadikan fokus perhatian utama dari mereka. Pihak swasta diberikan keleluasaan untuk mengembangkan usaha mereka, dan campur tangan pemerintah kepada mereka diperkecil. Sehingga yang terlihat adalah swastalah yang mengendalikan negara. Namun sebenarnya tidaklah demikian, untuk sektor tertentu, pemerintah masih mempunyai campur tangan yang besar. Terutama untuk sektor-sektor dimana pemerintah harus memberikan proteksi yang lebih. Disaat negara-negara maju menghendaki terbukanya keran impor bagi produk-produk mereka ke negara-negara berkembang, pada saat itu juga mereka memproteksi produk-produk pertanian yang dimilikinya. Sebagai contoh yaitu Jepang dan Amerika, walaupun mereka negara yang sudah maju, namun sektor pertanian tetap menjadi fokus perhatian yang utama, karena menyangkut ketersediaan bahan pangan masyarakatnya. Sehingga walaupun Jepang dan Amerika sudah dikategorikan sebagai negara industri, tidak serta merta melupakan sektor pertanian yang dianggap bagian yang penting yang tidak boleh diberikan secara leluasa pengelolaannya kepada pihak swasta.

Bandingkan dengan Indonesia, di Tahun 2008 ini kita dianggap telah surplus beras, tetapi ingatkah kita di Tahun 2006 terpaksa kita mengimpor beras dari negara tetangga kita di ASEAN. Di saat ini juga kita perhatikan, adakah langkah yang dilakukan oleh pemerintah ketika harga TBS (tandan buah segar) sawit yang turun dengan sangat drastis. Sehingga upah untuk memanen dianggap lebih mahal dariapada hasil yang dipanen. Adakah yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikannya untuk tidak tambah terpuruk? Hal tersebut karena proteksi tidak dilakukan terhadap produk-produk pertanian kita. Adakah perlindungan pemerintah kepada para petani? Salah satu kasus yang cukup menarik terjadi di daerah Jawa Timur, dimana petani digugat hingga ke pengadilan oleh perusahaan pemilik benih, karena dianggap melakukan pemalsuan benih. Tidak ada pembelaan hukum yang diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban mereka. Bandingakan dengan mereka negara maju. Mereka membatasi impor untuk produk-produk pertanian, agar tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan. Dengan pembatasan yang sangat ketat dan berbagai alasan, perlindungan sektor pertanian harus dilakukan. Walaupun hal tersebut mendapatkan protes dari negara-negara berkembang, bahkan dikatakan berlaku tidak fair, pada akhirnya kebijakan itu masih mereka jalankan hingga saat ini.

Menuju Good Governance

Mengurai masalah tanpa menimbulkan masalah yang baru adalah yang semua kita harapkan. Ada kekhawatiran jika pihak swasta diberikan ruang yang lebih luas untuk berusaha, maka negara akhirnya dianggap tidak memiliki kedudukan lagi (melayu = marwah). Namun apabila seluruh sektor kehidupan diatur oleh pemerintah, maka dianggap bebannya akan teramat berat, belum lagi dengan adanya mismanagement dalami pengelolaan BUMN. Bukan memberikan keuntungan, sebaliknya pemerintah selalu dipusingkan dengan banyaknya BUMN yang merugi. Jadi apakah yang sebaiknya dilakukan ? memperkecil peran pemerintah, atau pemerintah diberikan kewenangan yang sebanyak-banyaknya sehingga seluruh sektor kehidupan berada dibawah kontrol pemerintah.

Margaret Thatcher dan Reagen sebagai penggerak kaum monetaris yang menganjurkan peran negara dengan minimalis menyatakan bahwa pemerintah hanya perlu berperan melindungi hak milik, memelihara ketertiban dan stabilitas sosial, serta mempertahankan negara dari sebuan musuh (Mas’oed : 158). Kemudian diera selanjutnya setelah pasar berjalan tidak efisien dan dan sama sekali tidak mampu menjalankan fungsi yang diperlukan masyarakat, maka berkembanglah paham neo-liberalisme. Mereka beranggapan perlunya campur tangan pemerintah, namun campur tangan disini persoalannya bukan ada atau tidaknya intervensi pemerintah, tetapi sifat dari intervensi itu sendiri (yang termasuk tokoh didalamnya, Deepak Lal, Jadish Bhagwati, dan Anne Krueger dalam Mas’oed 169-173).

Sehingga ketika pada awalnya New Public Administration yang menyatakan bahwa the best government is the least government perlu direvisi kembali. Mungkin pernyataan yang tepat adalah sebagaimana dinyatakan oleh Clinton (1996) bahwa bukan kemudian least government tetapi efficient government. (Dwijowijoto, 2006:10). Jadi pada intinya bukan kemudian bagaimana untuk menciptakan good governance dengan mengurangi negara, namun negara harus mampu menjadikan dirinya sebagai lembaga yang penting yang efisien dan mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

Selanjutnya apa yang harus dilakukan agar menjadikan negara itu kuat. Dwijowijoto kemudian menyatakan bahwa yang kita inginkan adalah bagaimana membangun negara yang kuat tanpa kemudian negara tersebut menjadi negara yang totaliter. Yang kemudian ia menyatakan bahwa untuk menciptakan negara yang kuat itu adalah dengan kebijakan-kebijakan yang unggul sebagaimana tercermin dalam semangat good governance itu sendiri seperti tranparan dan akuntabel terhadap rakyat. (Dwijowijoto, 2006:17). Selain itu karena dianggap tugas negara yang sedemikian besar, maka satu-satunya lembaga yang mampu menegaskan hakikat kenegaraan seperti penegakan hukum dan menciptakan kebijakan-kebijakan adalah negara itu sendiri. Maka Fukuyama kemudian berpendapat bahwa sudah saatnya kita memperkuat negara dengan terlebih dahulu memahami perannya dalam masyarakat. (Fukuyama, 2005 : 10).

Penutup

Walaupun semakin banyak tekanan yang diberikan oleh banyak pihak agar pemerintah semakin mengurangi perannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah tetaplah aktor utama untuk membangun negara ini. Pilihan terhadap banyak tipe pemerintahan dan bagaimana kemudian pemerintahan itu mampu memujudkan good governance menjadi harapan banyak pihak untuk mengenalinya lebih lanjut. Namun dalam kenyataannya berbagai pilihan pemerintahan yang ada lebih banyak bersifat kasusistik dibandingkan mencari pola dan format yang ideal apa yang seharusnya dipilih oleh suatu pemerintahan itu sendiri. Pada akhirnya menjatuhkan pilihan yang ideal terhadap suatu negara menjalankan sistem pemerintahan tidak terlepas bagaimana pemerintah mampu menciptakan good governance dan memberikan kebijakan publik yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Wallahu ‘alam

Selasa, 11 November 2008

Menjadi Pribadi Unggul

Tentulah setiap orang menginginkan menjadi yang ”ter –”, entah itu terbaik, terpintar, terkaya, tercantik, tertampan, tersehat, terkuat, atau apapun itu. Namun apakah kita menjumpai bahwa diri ini termasuk bagian dari yang diinginkan itu. Teramat jarang kita menjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun apakah setelah kita tidak menjadi yang ”ter –” itu, menyebabkan kita menjadi tak berdaya.

Thomas Alfa Edison seorang penemu bohlam, dia adalah orang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan formalnya karena dianggap tidak mampu dan dianggap berbeda dengan orang kebanyakan. Namun berkat dorongan ibunya dan keinginanannya yang kuat untuk belajar akhirnya ia bisa menciptakan bola lampu pijar, yang sampai sekarang hasil ciptaannya tersebut dapat dinikmati oleh hampir semua orang didunia ini. Syeikh Ahmad Yassin, seorang pemimpin spiritual Hamas adalah seorang yang buta dan juga tuli. Namun apakah dia kemudian berdiam diri saja dengan kelemahannya. Syeikh ini sampai diakhir hayatnya tidak pernah lelah untuk terus mengobarkan semangat perlawanan kepada kaum zionis dan kemudian mampu menggerakkan para pemuda, ibu-ibu, bahkan anak-anak untuk menjemput syahid. Adalagi Bilal bin Rabah, seorang sahabat Rasulullah SAW dari kalangan budak berkulit hitam, ia tidak pernah merasa rendah diri dengan fisiknya. Bahkan Rasulullah SAW pun telah mendengar terompahnya di surga. Subhanallah, orang yang masih hidup di dunia pada saat itu, namun langkah terompahnya sudah terdengar berada di surga.

Kenapa orang-orang yang nampak secara fisik lemah dan tidak tampak kelebihan apa-apa ini bisa menjadi begitu unggul? Satu hal yang harus kita pahami bahwa mereka meyakini bahwa mereka adalah yang terunggul. Kenapa demikian, karena dari awal kita tercipta di dunia ini memang sudah unggul. Dari jutaan sel sperma yang berebut membuahi sel telur, ternyata kitalah yang terunggul, kitalah yang kemudian menjadi manusia. Kitalah yang terlahir dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Ini sudah menunjukkan bahwa betapa unggulnya kita.

Ternyata menjadi unggul itu tidak mesti menjadi yang ”ter –”. Namun pribadi yang unggul adalah mereka tahu secara persis potensi apa yang mereka miliki, dan dengan kemampuan yang optimal, mereka mampu menggerakkan setiap elemen yang bergerak disekitarnya itu. Menjadi unggul tidklah sulit, yang tersulit adalah bagaimana kita dapat menemukan potensi unggul yang terdapat didiri kita masing-masing. Setiap orang tentu bisa menjadi unggul, bahkan orang yang cacat secara fisik sekalipun. Sadarilah, bahwa saat ini kita terlahir dengan kesempurnaan, tidak hanya satu keunggulan yang bisa kita buat, ada banyak keunggulan yang bakal tercipta. Selain itu, turutlah berbahagia dengan keunggulan orang lain, karena dengan seperti itu kita tetap bisa menjaga ruang kita untuk terus meningkatkan kemampuan diri. Teruslah bersemangat sebagai insan yang tetap unggul saudaraku.

Wallahu ‘alam

Rabu, 22 Oktober 2008

R 'n' B

Jika dilihat judulnya, sepintas kita menyangka akan disuguhkan cerita-cerita yang berbau musik dengan genre Rhythm and Blues, yang biasa dibawakan oleh para black community. Namun tulisan berjudul R ’n’ B akan bercerita sedikit tentang apa itu Ramalan dan Bintang. Tema yang cukup sederhana, banyak terdapat di banyak media dan termasuk dalam bagian bacaan yang ringan. Namun untuk yang satu ini, saya mengingatkan kita untuk perlu berhati-hati, apalagi diri kita sebagai muslim. Ramalan bintang selalu membuat orang jadi tertarik, hampir setiap orang akan menyukainya, dan terus berkembang sesuai dengan zamannya. Apa yang harus kita perhatikan tentang ramalan bintang?

Sebagai seorang muslim, seringkali kita berbuat dosa, entah itu dalam keseharian beribadah ataupun dalam bermuamalah. Namun ada dosa besar yang tidak akan diampuni Allah yaitu syirik. Syirik atau menyekutukan Allah adalah perbuatan yang tidak akan diampuni dikarenakan seorang makhluk memiliki illah yang lain, entah itu disengaja ataupun tidak. Apa kaitanya antara ramalan bintang dan syirik. Ramalan bintang adalah salah satu perangkap syetan untuk menjerumuskan hambanya ke lembah keterpurukan. Ramalan bintang dibuat untuk menduga-duga apa yang terjadi di masa sekarang dan mendatang. Pada kenyataannya dugaan ini adalah berita-berita kosong belaka yang disampaikan oleh syetan melalui antek-anteknya seperti dukun, peramal, para pemakai kartu tarot ataupun lainnya. Perasaan untuk menduga-duga tentang baik-buruk hidup seorang makhluk dengan dikaitkan dengan kepada perbintangan adalah bagian dari kesyirikan. Padahal tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui berita-berita mengenai qadha dan qadar. Sebagaimana yang termuat didalam Surat Al An’am ayat 59, disebutkan bahwa :

”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”

Terkadang ada juga yang berkilah bahwa mereka hanya untuk membaca saja dan tidak bermaksud untuk mempercayainya. Namun sesungguhnya hal tersebut pun sama saja, karena kita juga dianggap telah bermain-main dengan kemusyrikan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari bintang-bintang, berarti telah mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir. Semakin bertambah ilmunya, semakin dalam ia mempelajari sihir tersebut."

Didalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa : “Barangsiapa yang mendatangi peramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.” Membaca ramalan bintang, pada hakikatnya dapat dipersamakan halnya dengan mendatangi peramal, karena produk yang dihasilkannya sama saja yaitu ramalan dengan tipuan kosong belaka. Untuk perbuatan membaca ramalan saja, maka kita harus menanggung akibat dengan tidak diterimanya ibadah shalat selama 40 hari. Apatah lagi jika kita mempercayainya. Maka kita akan benar-benar digolongkan sebagai orang yang musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallahu alaihi wasallam.” (Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad dan Hakim)”.

Tulisan ini hanya untuk mengingatkan kembali bahwa perangkap setan untuk membawa manusia kepada kesesatan itu tak terhitung jumlahnya. Terkadang karena ketidaktahuan kita, kemalasan untuk bertanya ataupun ketidakperdulian kita terhadap sesuatu hal yang penting menyebabkan kita terperosok lebih jauh. Ramalan bintang mungkin hal yang dianggap sangat sepele, tetapi dengan kemajuan zaman, sekarang ia telah berkelindan dengan teknologi informasi, melalui content sms di banyak operator seluler dan juga diberbagai website. Akhirnya kita sendiri yang akan menentukan pantas atau tidaknya ramalan bintang itu ada di media. Jika kita tidak mampu melenyapkannya, setidaknya kita menghindari untuk tidak sekali-kali berinteraksi dengannya. Akibatnya teramat fatal, sanggupkan kita menerima predikat sebagai golongan musyrik. Jika Yang Maha Pengampun saja tidak akan mengampuni, kepada siapa lagi kita meminta ampun.? Semoga ini menjadi bahan renungan kita bersama.

- Wallahu ’alam -

Jumat, 17 Oktober 2008

Adversity Quotient

Setiap manusia pasti memiliki kesulitan yang beragam, karena dalam hidup memang ada masalah. Namun tidak semua manusia bisa kuat dalam menghadapi masalahnya. Ada yang karena masalah yang dirasa teramat berat sehingga menimbulkan stress ataupun yang pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup, karena sudah begitu tertekan dengan masalah. Naudzubillah.!!! Cara penyelesaian yang tidak hanya mencoreng nama selamanya, lebih dari itu, tentu akan sangat merepotkan bagi mereka yang ditinggalkan. Sehingga kalau dulu orang menilai kekuatan seseorang itu dapat diukur dari seberapa tingginya IQ seseorang, sekarang tidak lagi seperti itu. Perlu dilihat juga bagaimana tingkat daya tahan manusia ketika mereka didera permasalahan.

Paul Gordon Stoltz dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient : Turning Obstacles Into Opportunities dengan sangat menarik menceritakan bahwa seorang manusia yang kuat itu juga dapat dilihat dari bagaimana daya tahan mereka ketika mendapatkan permasalahan dan seberapa tangguh mereka menghadapi tantangan. Inilah langkah kesuksesan yang disebut olehnya sebagai AQ (Adversity Quotient). Ia menggambarkan bahwa sudah sifat diri manusia untuk maju berjuang, yang diistilahkan olehnya sebagai climbing. Tetapi pada akhirnya tidak semua dari mereka yang bisa sukses dalam pendakiannya. Untuk hal tersebut, Stoltz kemudian membagi manusia menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. The Quitters, mereka adalah orang-orang yang baru mau mendaki tetapi ketika melihat tebing yang sedemikian terjal dan banyaknya rintangan yang bakal dihadapi, mereka mundur dengan teratur. Mereka ibaratnya seperti pasukan yang lari sebelum berperang, dan akhirnya berpuas diri dengan menjadi penonton saja.

2. The Campers atau bisa disebut juga orang-orang yang berkemah. Tidak sepert the quitters yang langsung lari meninggalkan arena pertempuran, the campers adalah mereka yang berusaha untuk mendaki. Namun ditengah perjalanan yang sulit terdapat tempat yang lebih landai dan banyak terdapat kesenangan disana, maka disementara waktu mereka berkemah dahulu. Namun seiring dengan waktu, the campers ini enggan untuk mendaki lebih tinggi lagi, karena mereka sudah merasa cukup dengan apa yang ada. Pada akhirnya disanalah mereka tinggal, menjadi penikmat sesaat dan tidak berani mengambil resiko lebih jauh. Padahal dengan kemampuan yang dimilikinya, mereka sanggup untuk mendaki lebih tinggi.

3. The Climbers, inilah yang disebut para pendaki yang sebenarnya. The Climbers adalah orang-orang yang terus bergerak maju, tidak menghiraukan kenikmatan-kenikmatan sesaat yang mungkin ia raih selama perjalanannya. The Climbers adalah mereka yang tangguh menghadapi tantangan, tidak kenal lelah, dan tidak merasa cepat berpuas diri, sebelum mencapai puncak yang diinginkan. Mereka teramat menyadari bahwa berhenti sesaat atau berniat mundur adalah suatu kekalahan, dan juga mereka meyakini kenikmatan yang mereka lalui selama pendakian hanyalah fatamorgana.

Bagaimana dengan kita? Seberapa tinggikah AQ kita? Tentu kita sendiri yang dapat menjawabnya, karena yang mengenal persis diri ini adalah kita sendiri. Ya..... hanya kita. Menjadi The Quitters, The Campers, atau The Climbers adalah pilihan. Versi pilihan tiap orang tentu berbeda-beda, tetapi panduan untuk menuju kesana, saya pikir yang terbaik itu adalah sama, yaitu menjadi The Climbers. AQ sendiri bukanlah suatu hal yang given, ia bisa berubah setiap saat. Setiap orang pasti bisa meningkatkan AQ-nya dengan terus menerus berlatih menguji tempaan hidup dan bagaimana cara pandang mereka ketika diberikan tantangan. Bukankah yang mulia Rasulullah SAW juga telah mencontohkannya kepada kita. Pada saat beliau ke Thaif, masyarakat disana melempari dengan batu. Apakah beliau mundur dari mendakwahi mereka. Tidak….. sekali kali tidak. Rasulullah tidak pernah mundur dari dakwah. Apakah kemudian ia mengiyakan permintaan malaikat penjaga Gunung Uhud untuk menimpakan gunung itu kepada mereka? Tidak…! Rasulullah tidak memintanya. Kenapa ini terjadi? Karena Rasulullah menyadari bahwa mereka berbuat demikian, karena mereka tidak tahu. Selain itu beliau juga memiliki daya tahan yang kuat untuk menyelesaikan masalah dan tetap tangguh dengan apapun tantangan yang dihadapi. Itulah AQ yang sebenarnya. Sebagai umatnya, tentu kita ingin mengikuti apa yang dicontohkan beliau. Ia telah mencontohkan AQ yang teramat kuat, siapkah kita mengikutinya wahai umat pecinta Rasulullah ?

Berdoa dan berusaha

Wallahu ‘alam

Rabu, 15 Oktober 2008

Ada Apa Dengan Film di Riau ?

Berbicara mengenai hiburan, tentulah setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda. Karena memang yang menghibur setiap orang itu juga berbeda. Ada yang mendengarkan musik sudah merasa terhibur, ada yang ketika bertemu soulmatenya mereka terhibur, menonton film juga bisa membuat terhibur, atau yang lainnya yang menurut orang lain aneh, tetapi dia merasa terhibur. Terkhusus berbicara tentang film. Para pecinta sineas sendiri memiliki selera yang unik, malah terkadang lain daripada yang lain. Tapi satu hal yang pasti para pelaku industri film tahu persis apa sesungguhnya dibutuhkan oleh para penikmat film tersebut. Tiap orang tentu memiliki genre film sendiri sehingga ia merasa terhibur ketika menontonnya, dan memang saya pikir itulah yang dibidik oleh para pelaku di industri perfilman dimanapun di seluruh dunia.

Film selain menghibur juga membawa pesan tersendiri. Setiap film pastilah memiliki pesan yang ingin disampaikan entah itu baik menurut kita ataupun tidak. Sehingga di zaman orde baru dulu setiap film harus melalui proses seleksi yang ketat untuk bisa ditayangkan. Hanya film-film yang menurut pemerintah layak sajalah yang bisa beredar di bioskop-bioskop seantero Indonesia. Di era reformasi yang lebih terbuka pada saat ini, industri film semakin menggeliat. Puluhan judul muncul dan bahkan film-film bergenre horror laris manis bak kacang goreng. Kemudian film-film bertema cinta remaja juga saling bersaing memperebutkan pasar yang sedang naik daun ini.

Bagaimana dengan pelaku perfilman di Riau. Yang paling sederhana dari para pelaku di bidang perfilman ini adalah pengelola bioskop yang muncul di beberapa tempat di Riau. Pilihan film apa yang akan ditayangkan, berapa lama film tersebut tayang dan seberapa sering diputar, mereka semua yang menentukan. Masyarakat cuma diberi pilihan mau menonton atau tidak. Jika tidak mau menonton, terserah. Tidak ada “choice” bagi para calon penonton disana.

Pada akhirnya industri film benar-benar menjadi sosok yang komersil, pilihannnya adalah apapun yang banyak ditonton masyarakat dengan tingkat “load factor” tinggi. Film-film seperti ini biasanya adalah film-film yang ringan dan tidak membuat orang banyak mikir ketika menonton. Film-film denga tema horror dan cinta remajalah yang kemudian menempati rangking teratas. Sehingga kita dapat mencermati bagaimana watak dan perilaku warga masyarakat di suatu daerah juga berdasarkan genre film-film di bioskop yang sering diputar. Inilah yang terjadi juga di Riau saat ini.

Film yang disuguhi kepada kita seringkali monoton, malah terkadang (maaf) terkesan kurang berbobot. Pesan yang ingin disampaikan menjadi sangat kabur, karena memang yang lebih dikejar adalah keuntungan belaka. Padahal film merupakan sarana yang paling efektif untuk menyampaikan pesan. Salah satu film yang menurut saya bisa memberikan pesan moral yang sangat baik adalah Film Laskar Pelangi, walaupun belum bisa ditonton disini, (karena memang belum tayang), namun novelnya sudah saya nikmati berulang-ulang kali. Harusnya film yang seperti ini, bsa menjadi prioritas tayang dari para pengelola bioskop. Pesan yang ingin disampaikan juga jelas, bahwa apapun kondisinya, bahwa pendidikan tetaplah menjadi prioritas utama. Ditengah suasana masyarakat kita yang serba materialis dan hedonis, saya pikir Laskar Pelangi bisa menjadi oase yang menghibur dan menyadari betapa beruntungnya diri kita. Di berbagai kota besar lainnya pun, film ini sangat booming, hingga meraup keuntungan yang besar. Tetapi di Riau film ini sampai sekarang belum bisa tayang. Apakah yang salah disini? Para pengelola bioskop yang merasa bahwa film ini dianggap tidak akan komersil jika ditayangkan, atau karena masyarakat sendiri yang tidak tertarik dengan film ini.

Seharusnya para pelaku perfilman di daerah khususnya Riau bisa memberikan hiburan yang lebih bermakna kepada kami calon penonton film. Kalau dengan alasan komersialitas, tentu nama Laskar Pelangi sudah cukup komersil diketahui oleh para penggemarnya. Berkaitan dengan upaya untuk mendukung pengentasan K2I, salah satunya di bidang pendidikan, tentu ada keselarasan disana. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Riau tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, namun dorongan dari berbagai pihak menjadi hal yang mutlak juga diperlukan. Tak terkecuali di sektor hiburan, mereka harus bisa memberikan hiburan yang tidak hanya bisa menghibur, tetapi ada makna yang bisa menggunggah dari para penikmatnya. Laskar Pelangi adalah salah satu alternatif hiburan dan sekaligus sarana pendidikan yang cukup efektif dinikmati oleh masyarakat Riau. Semoga para pelaku perfilman di Riau bisa mendengar harapan dari kami penikmat hiburan yang tidak diberikan “choice” apapun.
Semoga.........

Selasa, 14 Oktober 2008

PEMIMPIN INSPIRATIF

Menjadi orang yang dipimpin, pada akhirnya sadar ataupun tidak terinspirasi untuk mengikuti pemimpinnya. Namun terkadang tidak semua pemimpin itu bisa menginspirasi yang dipimpinnya. (Disini penulis tidak menggunakan kata-kata pemimpin dan bawahan, karena tidak semuanya yang dipimpin itu adalah bawahan). Pada konteks kedinasan mungkin saja terjadi ada atasan dan bawahan, tetapi dalam kehidupan sosial seperti keluarga atau RT, tidak berarti bahwa suami adalah atasannya istri. (Wah kalau seperti ini terjadi, bisa terjadi unjuk rasa besar-besaran dari kaum feminis)

Namun ada beberapa hal yang menarik yang dapat dipelajari dan diserap dari para pemimpin kita. Seperti yang penulis alami selama bekerja di pemerintahan ini dari mulai pemimpin level terendah hingga yang bisa dilevelkan sebagai Big Bos. Tiap pemimpin memiliki kekhasan dan kelebihan masing-masing. Tentu lebih enaknya saya membahas kelebihan dari mereka, daripada membicarakan kekurangan orang lain. Selain membicarakan keburukan orang lain itu merupakan ghibah, setiap orang tentu memiliki ketidaksempurnaan. Kembali ke topik pemimpin seperti apa yang mempengaruhi saya. Banyak dipimpin juga menimbulkan banyak rasa, karena memang menurut saya ”taste” tiap orang itu berbeda-beda. Ada pemimpin yang enak bisa diajak share, tidak membatasi bahwa ia adalah atasan dan saya cuma bawahan. Tetapi dengan hal tersebut tidak menghilangkan sikap hormat saya kepadanya, karena tentu saja saya merasa dihargai oleh beliau. Pemimpin yang saya ceritakan ini mengajari saya untuk terus bergerak, walaupun katanya ditempat kita kemarin ”kering” (he...he.... emang kemarau), tetapi harus dimanfaatkan peluang lain yang bisa menghasilkan sesuatu. Walhasil pada saat ini beliau telah menjadi Manager pada salah satu produk MLM. Syukurnya pas mau lebaran kemaren, kita para stafnya diberi THR berupa produk yang digerakkannya selama ini. Cerdas juga pemimpin yang satu ini, turut membahagiakan orang lain dan sekaligus menjadi ajang promosi kepada para kaum istri dirumah (terbukti istri saya langsung bertanya dengan produk-produk terbaru keluaran MLM tersebut). Sisi positif yang dapat saya ambil dari beliau adalah janganlah terbentur dengan keadaan. Kita yang harus mengubah keadaan, bukan keadaan yang mengubah kita. Hingga saat ini terkadang sambil bercanda, beliau dengan sedikit filosofis mengatakan bahwa memang di kedinasan ia hanya pemimpin di level terendah, tapi di MLM ....... (dak etis nyebutin produk), saya adalah Manager. Alhamdulillah kalau seperti itu bos, semoga terus tambah maju namun tetap tidak melupakan tugas-tugas utama di bidang kedinasan.

Pemimpin lain yang ingin saya ceritakan disini adalah yang sudah mencapai level ”Big Bos”, tau kan? Pada level big bos lebih terasa lagi kekhasannya. Khas yang terasa pada diri saya pun, saya pikir sama dengan yang dirasakan oleh para rekan sejawat. Kekhasan pertama yang saya tangkap dari beliau dari seorang pembelajar. Ada saja hal kreatif yang dibuat, mungkin tidak bermaksud mengajari yang dipimpinnya, tapi ”taste” nya mengena pada sasaran. Mungkin karena memang sifatnya sebagai pembelajar, sehingga nuansa pembelajaran tertangkap dalam hampir semua geraknya. Kadangkala seseorang tidak akan mempan dinasehati atau diberikan perintah dengan kata-kata yang tegas bahkan diiiringi dengan sikap paksaan, tetapi ketika dengan kata-kata yang lembut dan pemberi semangat, tentu membuat orang lain berfikir untuk berubah. Pemimpinku yang satu ini memang jagonya untuk memberikan semangat, dengan ”little quotation”, beliau ingin memberikan ”taste” yang dimilikinya kepada orang sekitarnya. Yang mendapat quotation pun pada awalnya bingung, apa maksudnya, ada salah apa, arahnya kemana? Terlepas dari diri yang merasa tersindir, muncul perasaan bersalah atau malu, sesungguhnya saya yakin bahwa pesan-pesan singkat yang beliau kirim itu untuk men”charge” semangat kerja yang sedang melemah. Punya pemimpin seperti beliau juga harus terus nyambung dengan teknologi informasi. Kalau gaptek, wah alamat tuh, ”taste”nya tidak berasa. Makanya blog ini pada akhirnya dikebut pengerjaannya dengan faktor terbesarnya karena terinspirasi oleh beliau, dan malu juga masak beliau yang segunung kerjanya saja masih sempat-sempatnya ngisi blog. Namun ada yang paling menarik dari ”taste” yang beliau punya. Dan ini terungkap pada saat kajian rutin Ramadhan kemarin. Menurutnya ada 3 (tiga) hal yang senantiasa kita harus lakukan untuk terus melatih pikiran kita. Yang pertama adalah dengan membiasakan membaca. Kedua dengan membiasakan berbicara, dan yang ketiga adalah dengan rajin menulis. Tidak lain ini adalah semangat para pembelajar, karena ketiga elemen ini hanya muncul pada diri mereka yang terus menerus belajar.

Memang tidak ada manusia yang paripurna. Orang yang dikatakan pintar pun belum tentu paripurna. Ada orang yang jago dalam berbicara sehingga disebut dengan orator tetapi tidak mampu menulis sesuai keindahan lisannya. Ada yang senang membaca, tetapi ketika mengungkapkan dengan lisan menjadi latah tuk berbicara. Sehingga fungsi dari pikiran tidak menjadi lengkap dan tidak dapat dioptimalisasikan. Menurut saya, jika ”taste” dari pemimpin ini saya ikuti, tentu saya bisa turut merasakan ”apa keindahan” yang tersebunyi didalamnya. Tentu saja di seumuran saya yang harus terus belajar ini, diperlukan juga banyak ”mendengar” agar inspirasi dari mereka yang bisa memberikan inspirasi, dapat terserap dengan cepat.

Pemimpin memang dapat datang silih berganti, dengan sikap dan tingkah laku yang berbeda-beda serta ”taste” yang beraneka ragam. Tetapi untuk menjadi pemimpin yang inspiratif dan kemudian dapat menularkan inspirasi positif kepada yang dipimpinnya adalah tidak sembarang pemimpin. Hanya sedikit sekali pemimpin inspiratif yang muncul karena bakat alam, sedangkan menurut saya, lebih dari 90 % pemimpin inspiratif itu muncul karena tempaan hidup, niat yang ikhlas untuk terus belajar dan amat meyakini bahwa akan ada hari esok yang akan membalas amal kebaikan dengan kebaikan yang teramat baik. Pada akhirnya "taste" dari pemimpin inspiratif kita ini tidak terlepas dari seseorang yang selalu patut dicontoh, karena ia menginspirasi semua orang. Ialah Rasulullah Muhammad SAW. Shalawat kita untuk beliau, semoga kita diberikan syafaatnya di hari akhir kelak. Kita juga mendoakan terus kepada para pemimpin inspiratif ini untuk terus ada pada tiap zaman, waktu dan tempat, sehingga terus terpancar jiwa positif dari mereka yang dipimpinnya. Dan semoga dari sikap inspiratifnya akan muncul pemimpin baru yang pada akhirnya menjadi lebih inspiratif serta membawa kebaikan bagi masyarakat luas. Amiin....

- Wallahu ’alam -

Senin, 13 Oktober 2008

Mencintai Rasulullah SAW

Apa makna cinta yang sebenarnya. Cinta begitu banyak versinya dan beragam pula orang mengungkapkannya. Namun suatu hal yang pasti bahwa cinta itu tidak pernah dapat dibohongi dan cinta tidak pernah ditutupi oleh tameng kepalsuan. Sehingga makna cinta menjadi jelas, ia berasal dari kemurnian jiwa, menghujam kedalam dada menembus hingga ke sumsum sanubari tanpa diiringi sikap kepura-puraan. Cinta seperti itulah sebenarnya yang harus kita tujukan kepada junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW. Namun sedemikiankah cinta kita kepadanya. Sekali lagi, tentu kita harus bertanya kepada nurani kita, sucikah cinta kita? Apakah masih ada kepura-puraan dalam cinta kita.

Layaknya orang yang mencinta, setiap orang merindukan orang yang dicinta dan dikasihinya. Sehingga bagi kita yang dikatakan umatnya ini, tentu harus kembali bertanya, seberapa besar rindu kita kepadanya (Rasulullah SAW). Sungguh suatu kebahagiaan besar orang-orang yang sempat dipertemukan dengannya secara langsung. Para sahabat beliau (semoga Allah meridhoi mereka) pantas saja beriman tanpa ragu-ragu karena mereka melihat mukjizat-mukjizat yang langsung ditampakkan atau bagaimana begitu mulianya akhlak yang beliau contohkan. Kepada mereka Rasulullah mengatakan bahwa masih ada lagi orang yang akan lebih dekat dengannya diakhirat nanti. Menurut beliau, mereka ini bukan dari kalangan sahabat yang hidup satu masa dan bertemu dengannya secara langsung. Mereka adalah orang-orang (umatnya) di akhir zaman yang tetap mengikuti sunnah beliau walaupun pada zaman tersebut mengikuti sunnahnya diibaratkan seperti memegang bara api yang tengah panas membara. Mereka senantiasa menjalankan sunnah Rasul, senantiasa mengikuti akhlak yang pernah dicontohkannnya dan tetap kokoh jiwanya untuk memegang teguh amanah ini. Mereka adalah orang-orang yang kuat keyakinannya, walaupun mereka sendiri tidak pernah melihat langsung wajah yang mulia (Rasulullah) ini. Tapi kenapa mereka begitu kuat untuk menjalankan sunnah yang beliau contohkan. Tidak lain karena satu kata yaitu : ”Cinta”

Ya, itulah cinta. Cinta tidak pernah mengenal perbedaan masa dan zaman, tak lekang dimakan panas, dingin, lapuk dan hujan. Ia hanya datang kepada mereka yang hatinya selalu siap menerima kilatan-kilatan cahaya iman dan nuraninya bersih dari kelamnya dosa kehidupan. Itulah cinta yang mampu menggerakkan jiwa sehingga hatinya terus hidup untuk mencinta walaupun banyak kesulitan yang akan dialami. Cinta yang mereka terjemahkan dengan sangat abstrak bahwa ketika ia mencintai Rasulllah SAW sama seperti menggenggam bara api yang panasnya akan membakar tangan mereka. Namun jika bara api tersebut mereka lepaskan niscaya bukan hanya tangan mereka yang terbakar, seluruh tubuhnya bahkan orang-orang yang berada disekelilingnya pun akan terbakar. Mereka inilah yang terkadang dianggap sebagai orang-orang ketinggalan zaman, namun sesungguhnya berjiwa sangat mulia. Tidak hanya menyelamatkan jiwanya saja, namun kemudian mereka dengan tulus menyelamatkan orang-orang yang berada pada lingkungannya.

Makna selanjutnya dari mencinta adalah pertemuan. Hati yang gundah, jiwa yang resah akan kembali bergelora ketika kita bertemu kembali dengan sang dambaan hati. Begitu juga cinta kita kepada Rasulullah SAW, setiap umat yang mencintainya tentulah mengharapkan pertemuan dengan wajah yang mulia ini. Duhai indahnya ketika kita dipandangi oleh tatapan lembut beliau di hari akhir nanti. Sungguh bahagianya ketika tidak ada siapa-siapa lagi yang dapat dimintai pertolongan, dan Beliau datang dengan syafaatnya menunjukkan bahwa kita adalah bagian umatnya yang akan beliau banggakan. Kepada kita yang mencinta, pertemuan akan semakin memperkuat cinta itu sendiri. Sehingga berdoalah kita kepada Sang Khalik untuk dipertemukan dengan Rasul-Nya ini. Kebahagiaan yang hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang terpilih dengan hati yang putih saja yang bisa berjumpa beliau didalam mimpi. Memang orang mengatakan bahwa mimpi itu hanya bunga tidur belaka. Namun mimpi bertemu beliau adalah sungguh suatu rahmat yang besar. Orang yang tidak dapat ditiru oleh syetan dalam bentuknya adalah Rasulullah SAW sendiri. Jadi mimpi bertemu Rasulullah hakikatnya kita telah bertemu dengannya langsung, mendapatkan tatapan teduh matanya ataupun senyuman indah dari makhluk mulia yang Ia ciptakan ini.

Berbeda cinta dengan makhluk lainnya, cinta kepada Rasulullah tidak patut disandingkan dengan makhluk lainnya. Kecintaaan kepada Rasulullah itu melebihi atas segala-galanya. Cinta kepada Rasulullah sebagaimana di riwayatkan dalam suatu hadits dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Tidak beriman seorang hamba sampai ia mencintai saya lebih dari cintanya terhadap kerabatnya, hartanya dan semua manusia " (HR. Imam Muslim). Bahkan dalam suatu riwayat dari Umar bin Khattab ra dikatakan bahwa tidak sempurna keimanan seorang hamba jika kecintaannya kepada dirinya sendiri melebihi cintanya kepada Rasulullah. Artinya kepada mereka yang narsis, tidak ada lagi ruang untuk teramat mencinta dirinya sendiri, jika ia tidak ingin imannya menjadi tidak sempurna. Sebagai manusia biasa seringkali kita berada pada posisi yang teramat sulit, sehingga begitu lemahnya kecintaan kepada beliau yang mulia ini menjadi tidak sempurna. Dengan berbagai sanggahan dan alasan yang terkadang terkesan dipaksakan, cinta kepada Rasulullah menjadi luntur ketika kita sibuk mengais rezeki, menuju puncak karier bahkan demi yang katanya gengsi dan mengikuti zaman. Mungkin seperti inilah gambaran umumnya yang pernah bahkan seringkali dialami oleh umatnya ini yang senantiasa menyatakan mencintai Beliau dan tidak pernah sekalipun melewatkan kemeriahan Maulid Nabi. Semoga saja saat ini, kita bisa lebih mencintai Beliau dari apapun juga. Sebagaimana beliau selalu mencintai dan menyayangi umatnya, hingga dibatas akhir kepergiannnya. Semoga wahai saudaraku. Tidakkah kita ingat apa yang beliau ucapkan, Ummati... Ummati... Ummati...

Wallahu alam.

Diskresi Oleh Administrator Publik

Pendahuluan

Administrator publik menjadi serius untuk dibicarakan ketika apa yang dilakukannya itu banyak menyentuh ruang politik. Sebenarnya apa hubungan antara administrator publik dengan politik itu sendiri. Apakah ada perbedaan dan pertentangan antara wilayah administrasi publik dan politik? Apakah peran dari masing-masing ruang ini? Apakah ada perbedaan pandangan antara teori dan tataran praktik administrasi publik itu? Inilah pertanyaan besar yang menjadi tantangan bagi para adminisrator untuk mendefinisikannya secara tepat.

Dalam perkembangan ilmu adminsitrasi publik, begitu banyak dinamika yang timbul, mulai dari peran dari administrasi publik yang terpisah sama sekali dengan dunia politik. Pemahaman selanjutnya yang kemudian muncul bahwa adminsitrasi itu adalah bagian dari politik. Paradigma yang muncul adalah “when politic ends administration begins”. Pemahaman-pemahaman inilah yang kemudian memunculkan banyak pendapat baik dari kalangan ilmuwan ataupun praktisi untuk menggali kembali esensi dari ilmu administrasi publik.

Proses Pemahaman

Baik para ilmuwan ataupun praktisi administrasi publik telah memahami bahwa dinamika yang terjadi pada masyarakat itu sedemikian cepatnya bergerak melebihi dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Jika menganggap bahwa administrasi publik itu berbeda sama sekali dengan politik, membuat pemahaman ini menjadi rancu, karena didalam pengambilan kebijakan publik, unsur politik tentu saja mendominasi. Terkait dengan pemahaman selanjutnya bahwa administrasi itu muncul setelah adanya proses politik, dapat juga dinyatakan tidak tepat, karena dalam kenyataanya seorang administrator publik tidak hanya menjalankan kebijakan saja. Ia juga bisa bertindak secara langsung terhadap suatu kebijakan.

Administrator publik seringkali menjadi cenderung untuk salah melangkah karena kekakuannya untuk hanya mengikuti dari peraturan yang ada. Gejolak untuk mengembangkan konsep baru ilmu administrasi publik menjadi suatu kebutuhan. Terdapat kritik yang tajam yang dialamatkan terutama terhadap pandangan ilmiah para sarjana administrasi publik yang dianggap kurang mampu mengakomodasikan pandangan-pandangan dan isu-isu baru yang berkembang dalam masyarakat. Kecenderungan untuk mengembangan konsepsi baru yang diharapkan mampu menjawab isu-isu yang bermunculan dipanggung politik dan kehidupan sosial mulai berpengaruh sangat kuat. Kehendak untuk memperbaiki dan menyempurnakan konsepsi lama dengan mengembangkan konsep baru dari Ilmu Administrasi Publik terus berlangsung sejalan dengan perkembangan perubahan paradigma yang sekarang menjadi current issues dalam ilmu administrasi publik. (Thoha, 2003).

Dalam perjalanan akhirnya saat ini, ilmu adminstrasi publik terjadi pergeseran titik tekan dari Administration of Public dimana Negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi Negara / Pemerintahan; Administration for public yang menekankan fungsi Negara / Pemerintahan yang bertugas dalam Public Service; ke Administration by Public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi Negara / Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver seat. Dalam hal ini sesungguhnya telah terjadi perubahan makna Public sebagai Negara, menjadi Public sebagai Masyarakat. (Utomo, 2005).

Kepentingan Publik

Perubahan dan tuntutan masyarakat yang sedemikian besar mengakibatkan seorang administrator publik harus segera mengubah paradigma berfikirnya. Peraturan yang dibuat itu seberapa pun cepatnya tidak akan mampu menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Karena perubahan yang terjadi pada masyarakat itu begitu cepat, dan tidak semua perubahan yang terjadi itu termuat dalam aturan. Dalam menghadapi perubahan tidak mungkin seorang administrator “do nothing”. Persoalan haruslah dapat diselesaikan dengan segera, menunggu sampai dibuatnya aturan muncul sama saja menghambat terjadinya perubahan pada masyarakat dan lebih parahnya lagi masyarakat akan membuat aturan sendiri. Akhirnya birokrasi harus memainkan peran ganda, bahkan jamak, tidak hanya sebagai eksekutor atau implementor kebijakan melainkan juga sebagai formulator dan sekaligus evaluator kebijakan. (Wibawa, 2005).

Untuk menjalankan fungsi sebagai administrator publik yang tidak hanya sebagai implementor tetapi juga sebagai formulator kebijakan, administrator harus mengetahui peran dan fungsinya secara tepat. Pertanggungjawaban seorang administrator adalah untuk kepentingan publik, maka pelayanan publik yang dilakukan haruslah akuntabel, responsif dan efisien. Pengertian akuntabel disini berarti bahwa suatu pelayanan publik itu benar dan sesuai dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berkembang pada masyarakat. Artinya, suatu pelayanan itu dilihat dari puas atau tidaknya masyarakat yang dilayani dan kesesuaian dengan apa yang mereka inginkan.

Untuk menjawab tantangan yang ada, dan untuk menciptakan pelayanan yang responsif, akuntabel serta efisien, maka administrator publik dituntut untuk melakukan hal yang terbaik bagi publik. Kepatuhan seorang administrator terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah adalah wujud ketaatan yang benar, namun juga wajib dipahami bahwa aturan-aturan itu juga merupakan buatan manusia. Sebagai manusia biasa yang yang memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), para perumus kebijakan dan aturan-aturan yang dibuat tentu saja tidak mampu memahami semua pokok kepentingan yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu perilaku administrator publik dalam memberikan pelayanan tidak hanya berdasar pada rule driven. Perlakuan seperti ini akan membuat pelayanan menjadi kaku dan semakin lamban, yang pada akhirnya menjadikan pelayanan itu tidak memuaskan masyarakat.

Diskresi sebagai solusi

Agar pelayanan menjadi sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan kebijakan operasional yang dapat dipandang sebagi suatu diskresi, yakni upaya untuk menyesuaikan kebijaksanaan dengan situasi yang telah berkembang (Wibawa, 2005). Diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh adminitrator untuk menyelesaikan suatu kasus yang tidak atau belum diatur dalam suatu regulasi yang baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa. Dalam implementasinya, tindakan diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau tidak diatur dalam satu ketentuan yang baku (Dwiyanto, 2006).

Diskresi seolah menjadi hal yang terabaikan didalam memberikan pelayanan, padahal dalam periode masyarakat yang terus berkembang dan semakin dinamis ini, diskresi sudah menjadi suatu keharusan. Sekalipun disatu pihak hal ini menunjukkan kreativitas dan daya tanggap birokrasi terhadap lingkungannya, di lain pihak diskresi sangat rentan bagi berlangsungnya penyimpangan (Wibawa, 2005). Namun prisipnya adalah sepanjang tindakan yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi serta tetap dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi, maka pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur ini tidak perlu terlalu dipermasalahkan. (Dwiyanto, 2006).

Saat ini dapat dicermati bahwa diskresi pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah demikian rendah. Adapun berdasarkan identifikasi yang dilakukan terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya hal demikian, yaitu :

  1. Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task-oriented) menyebabkan pegawai menjadi tidak termotivasi untuk menciptakan hasil yang nyata dan kualitas pelayanan yang prima. Formalitas dalam rincian tugas organisasi menuntut keseragaman yang tinggi. Akibatnya para pegawai menjadi takut berbuat salah dan cenderung menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), walaupun keadaan yang ditemui dalam kenyataan sangat jauh berbeda dengan peraturan-peraturan teknis tersebut (Kumorotomo, 2005). Adanya ketakutan administrator publik untuk mengambil tindakan yang berbeda dari yang telah digariskan oleh aturan yang ada menjadi alasan yang kuat kenapa diskresi tidak dilakukan. Tidak seperti di negara lain yang lebih maju sistem administrasi publiknya. Negara Indonesia masih belum mengenal konsep sunset rule dan reinvention laboratory. Sehingga walaupun peraturan yang sudah ada itu sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan zaman, bagaimanapun peraturan itu harus tetap diikuti. Akibatnya ruang kreasi dan inovasi dari administrator publik menjadi hilang, suatu kesalahan yang besar jika tidak mengikuti aturan yang telah ada, atau malahan dapat dikenai hukuman penjara.
  2. Budaya patron-klien yang masih melingkupi pelaksanaan tugas dari administrator publik. Budaya biriokrasi di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang hierarkis, tertutup, sentralistis, dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus dihormati. Dalam konteks demokrasi pelayanan publik di Indonesia, hubungan tersebut diterjemahkan oleh bawahan sebagai mendahulukan kepentingan pimpinan diatas segalanya. (Kusumasari, 2005). Sesuai dengan akar budaya lama, raja adalah segalanya dan masyarakat adalah abdi. Dalam konteks budaya paternalistik adalah berupa atasan yang memiliki kekuasaan yang besar dan sanggup memberikan apapun bagi bawahannya, sehingga bawahan akan memberikan apapun loyalitas dan pengabdian yang penuh bagi atasannya. Sehingga loyalitas yang seharusnya diberikan kepada masyarkat menjadi milik atasan. Ini sangat berpengaruh baik terhadap atasan maupun bawahan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Atasan akhirnya tidak memahami apa realitas sebenarnya yang terjadi pada masyarakat, pelayanan seperti apa yang mereka inginkan. Karena informasi yang masuk kepadanya hanya berupa informasi yang baik-baik saja dari bawahan agar atasan menjadi senang. Sedangkan bagi bawahan, menjadikan atasan sebagai patron akan membuatnya tidak berani mengambil tindakan, rasa pakewuh, takut melangkahi dan akhirnya tidak melakukan tindakan apapun. Dalam pelayanan publik sikap menganggap atasan sebagai segalanya menjadikan pelayanan menjadi tidak efisien. Tidak hanya menghabiskan energi waktu saja, dari segi biaya semakin besar rupiah yang harus dikeluarkan masyarakat.
  3. Reward yang tidak jelas dari administrator publik ketika ia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Reward disini dapat berupa penghargaan ataupun bentuk penghormatan, namun dapat juga diartikan sebagai mendapatkan insentif. Tidak adanya sistem insentif yang secara efektif mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk bekerja secara efisien dan profesional ikut memberikan kontribusi terhadap kegagalan birokrasi dalam membangun kinerja yang baik. (Kusumasari, 2005). Dalam diskresi beban berat yang pasti muncul terlebih dahulu adalah tidak sesuai dengan aturan. Apapun bentuknya yang dilakukan oleh administrator publik ketika kebijakan yang dia buat itu menghasilkan kebijakan yang akuntabel dan efisien terhadap pengguna jasanya, namun hal tersebut tidak sesuai dengan aturan yang telah ada, yang dia lakukan adalah salah. Inilah pemahaman yang selalu muncul dalam benak para administrator ketika ia ingin melakukan diskresi, jangankan mendapatkan penghargaan atas hasil kerjanya. Yang paling minimal ia akan mendapat sikap yang tidak enak dari teman sejawat ataupun dimarahi oleh atasan. Yang lebih parah lagi ketika diskresi yang dilakukan oleh seorang administrator publik itu membawanya ke pintu penjara. Hal yang sangat naif, ketika seorang memang berbuat untuk publik yang sebenarnya bukan malahan mendapat reward. Sedangkan adminsitrator yang dalam tugasnya banyak “melindungi atasan” dan memperjuangkan kepentingan tertentu saja tidak mendapatkan punishment dari negara ini.
  4. Rendahnya kualitas pendidikan dari para administrator publik sangat berpengaruh terhadap pelayanan yang ia berikan. Diskresi itu penting untuk dilakukan jika administrator memahami apa yang ia lakukan. Untuk itu wacana keilmuan dari administrator baik melalui pendidikan formal ataupun informal juga merupakan suatu keharusan. Kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat birokrasi melalui dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti S1 dan S2, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari komitmen pengembangan pegawai. Selain itu, dengan mengikutsertakan pegawai pada program-program pelatihan mengenai dasar-dasar manajemen organisasi terbuka, kepemimpinan dan penerapan model organisasi adaptif diharapkan dapat meningkatkan penguasaan mereka akan konsep-konsep pelayanan publik yang baik. (Dwiyanto, 2001).

Islam dan Fleksibilitasnya

Islam itu selalu mengajarkan umatnya untuk selalu berfikir, orang yang berilmu memiliki derajat yang tinggi, ayat pertama yang turun pun mengajarkan kita untuk membaca. Bagaimana relevansi antara ruang praktik administrator publik dengan Islam. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa :

Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu………..(An-Nisa : 59)

Ayat diatas mengajarkan kepada kita untuk wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian juga kepada pemimpin, pemegang kekuasaan, undang-undang ataupun peraturan. Namun ketaatan seperti apa yang harus kita lakukan? Menurut para ulama tafsir, yang wajib kita lakukan adalah jika pemimpin ataupun peraturan itu sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Jika pemegang kekuasan atau peraturan yang dibuatnya tersebut tidak sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka kita boleh tidak mengikutinya. Inilah landasan bagi administrator publik untuk melakukan diskresi.

Seringkali didalam pembuatan Peraturan-peraturan itu tidak sesuai dengan esensinya yaitu untuk kepentingan publik, bisa juga karena keberpihakan terhadap pihak kepentingannya ataupun hal ini bisa terjadi karena keterbatasan kemampuannya sebagai manusia biasa. Untuk itu seorang administrator publik jika menyikapi hal yang seperti ini, ia dapat melakukan diskresi. Salahkah apa yang dilakukannya? Pertama kita harus melihat esensi dari dibuatnya suatu peraturan. Suatu peraturan pastilah dibuat untuk kepentingan publik, maka jika suatu peraturan yang keberpihakannya tidak menyentuh ruang publik, diskresi dapat dilakukan. Kedua seorang administrator harus mampu memahami secara bijak dan tepat tugasnya sebagai pelayan bagi rakyat, maka yang harus didahulukan tentu saja adalah kepentingan rakyat. Ketiga, tendensi kepentingan harus bersih. Tidak jarang seorang administrator mengambil kebijakan atasa nama publik, namun dalam kenyataannya hanya segolongan pihak tertentu yang diinginkan. Oleh karena itu seorang administrator publik benar-benar memfokuskan kerjanya untuk kepentingan publik.

Bagaimana jika diskresi yang dilakukan oleh seorang administrator publik itu dinyatakan sebagai “malpraktek”, dianggap tidak mengikuti peraturan, menyalahi undang-undang, padahal tindakan yang dilakukannya itu sudah benar. Seorang administrator publik juga harus menyadari bahwa setelah didunia ini akan ada kehidupan selanjutnya yang lebih kekal. Pertanggungjawaban kerja bukan hanya terhadap atasan dan peraturan saja, ada pertanggungjawan yang lebih besar dari itu semua. Pertanggungjawaban seorang hamba kepada Khalik-nya. Oleh karena itu sebagai insan yang harus dilakukannya itu bekerja saja. Kita menyebutnya sebagai proses, sedangkan hasilnya bukan kita yang menilai. Inilah yang kemudian dapat kita ambil dalam ayat-Nya :

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah :105)

Begitu besarnya pertanggungjawaban seorang administrator publik, hingga dia tidak hanya bertanggungjawab di dunia ini saja, perhitungan di akhirat menjadi alasan penting untuknya dalam bertindak. Sehingga administrator publik selain ia mempunyai kemampuan akademik yang baik, memiliki daya kreasi dan inovasi, yang terpenting ia memiliki keimanan. Administrator publik terus berproses sebaik-baiknya bagi kepentingan publik, tentu saja penilaian dari sisi duniawi lebih banyak menonjolkan sisi subyektivitas. Tentu administrator akan lebih memilih keputusan yang paling objektif terhadap segala tindakan dan kebijakan yang telah dilakukanya. Keputusan di akhirat nanti menjadi pilihan.

- Wallahu ‘alam-


DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an dan terjemahannya, 2004. PT. Syaamil Cipta Media.

2. Agus Purwanto, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, dkk. 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

3. Dwiyanto, Agus, dkk. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

4. Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

5. Dwiyanto, Agus dan Bevaola Kusumasari. 2001. Policy Brief : Diskresi Dalam Pemberian Pelayanan Publik. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies, UGM.

6. Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

7. Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

8. Wibawa, Samodra. 2004. Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Adminstrasi Negara/Publik. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.