Selasa, 27 Januari 2009

Mengubah Cara Pandang

Ada kisah yang menarik tentang seorang ibu yang kerap kali menangis dalam hidupnya. Kemudian melintaslah seorang tua yang bijak bertanya kepadanya :
Tua Bijak : “Wahai ibu kenapa engkau kerapkali menangis”.
Ibu : “Aku menangis dikarenakan memikirkan kedua anakku”.
Tua Bijak : “Kalau engkau tidak berkeberatan, apa gerangan yang terjadi dengan kedua orang anakmu”
Ibu : “Begini Pak, Aku mempunyai 2 orang anak. Anakku yang pertama berjualan payung. Aku sedih jika sedang musim panas, maka jualan payung anakku menjadi tidak laku. Sedangkan Anakku yang kedua berjualan es, dan aku sedih jika sering turun hujan, maka jualan es anakku pasti tidak laku. Itulah yang selama ini menyebabkan diriku selalu sedih”
Tua Bijak : ”Bolehkah aku memberi saran, agar engkau menjadi berbahagia, Ibu ?”
Ibu : ”Jika engkau tidak berkeberatan, tentu aku akan menerima semua saranmu wahai orang tua yang bijak.”
Tua Bijak : ”Baiklah kalau begitu bu. Aku melihat engkau adalah ibu yang sangat beruntung. Dalam keadaan apapun kedua anakmu bisa mendapatkan keuntungan. Tidakkah engkau memikirkan kebalikan dari selama ini yang engkau sedihkan. Cobalah engkau bayangkan jika di musim hujan anakmu yang berjualan payung itu banyak mendapatkan keuntungan, karena semua orang berebut membeli payung, dan begitu juga adiknya yang berjualan es pada musim panas laku dagangan esnya. Seharusnya itu semua bisa membuatmu gembira Bu. Apa lagi yang dapat engkau sedihkan, jika anakmu sudah mendapatkan keuntungan ?”
Ibu : ”Terima kasih orang tua bijak, ternyata selama ini aku sudah memandang dengan cara yang salah”.
Epilog : Pada akhirnya Ibu tadi terus berbahagia sepanjang hidupnya, dan beliau sangat berterima kasih kepada orang tua bijak tersebut, karena berkat nasehatnya bisa mengubah hidupnya yang penuh kesedihan menjadi penuh kebahagiaan.
Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari cerita ini. Pertama bahwa terkadang kita memandang sesuatu dilihat dari sisi negatifnya terlebih dahulu, bukan dari banyak sisi kemungkinan. Sehingga jika pikiran bawah sadar kita sudah mengatakan hal tersebut sulit, negatif, tidak menguntungkan atau tidak mungkin berubah, maka kita tidak bisa menggunakan akal sehat kita untuk melihat sesuatu dari berbagai kemungkinan. Pada akhirnya hanya hasil yang negatif saja yang muncul dalam pikiran kita. Kedua, bahwa dalam hidup perlu kiranya saling berbagi, saling menasehati, saling bertausiyah. Bukankah didalam Surat Al-Ashr sudah disebutkan bahwa pentingnya bagi kita untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ketiga, kita harus senantiasa bersyukur, karena mungkin kita tidak mengetahui hikmah apa yang terjadi dibalik segala sesuatu. Kesedihan yang awalnya dirasakan oleh Si Ibu tadi ternyata berbalik menjadi suatu kesyukuran yang luar biasa, dikarenakan ia hanya tidak mengetahui bagaimana suatu keadaan itu patut disyukuri.

Wallahu ‘alam. Semoga bermanfaat.

Senin, 05 Januari 2009

KESIAPAN E-PROCUREMENT DI DAERAH (Bagian 2)

1. Indikator Kesiapan Dari Pemerintah Daerah

Menurut hasil kajian dan riset dari Harvard JFK School of Government dalam Indrajit (2006 : 15), untuk menerapkan konsep-konsep digitalisasi pada sektor publik, ada beberapa indikator kesiapan yang harus dimiliki dan diperhatikan sungguh-sungguh. Masing-masing elemen tersebut adalah :

a. Support

Elemen pertama dan paling krusial yang harus dimiliki oleh pemerintah adalah keinginan (intent) dari berbagai kalangan pejabat publik dan politik untuk benar-benar menerapkan konsep e-procurement. Tanpa adanya unsur “political will”, maka mustahil berbagai inisiatif pembangunan dan pengembangan e-procurement akan dapat berjalan dengan mulus. Untuk itu diperlukan dukungan dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Disepakatinya kerangka pengembangan e-procurement sebagai salah satu kunci sukses negara dalam mencapai visi dan misi bangsa. Artinya ada suatu komitmen bersama yang dibangun untuk menerapkan kebijakan ini.

2. Pelaksanaan e-procurement juga membutuhkan peraturan yang mendukungnya agar kebijakan ini dapat dijalankan dengan suatu arahan yang jelas dan memiliki dasar hukum yang kuat. Berkaitan dengan hal tersebut maka dibutuhkan suatu peraturan daerah/peraturan kepala daerah sebagai landasan pelaksanaanya.

3. Keterbukaan akses informasi publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Dimana kebutuhan masyarakat yang besar untuk mendapatkan informasi harus lebih diimbangi pemerintah daerah untuk dapat mempergunakan berbagai kanal akses informasi yang memungkinkan.

4. Disosialisasikannya konsep e-procurement secara merata, kontinyu, konsisten, dan menyeluruh kepada seluruh kalangan birokrat secara khusus dan masyarakat bisnis secara umum melalui berbagai cara kampanye yang simpatik.

b. Capacity

Yang dimaksud dengan elemen kedua ini adalah adanya unsur kemampuan atau keberdayaan dari pemerintah setempat dalam mewujudkan e-procurement. Yang paling tidak harus dimiliki oleh pemerintah sehubungan dengan elemen ini, yaitu :

1. Ketersediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai.

2. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan agar penerapan e-procurement dapat sesuai dengan asas manfaat yang diharapkan.

3. Dibentuknya suatu organisasi yang secara khusus menangani sistem ­e-procurement.

2. Indikator Kesiapan Dari Pihak Bisnis

Dalam menjalankan e-procurement juga penting untuk memperhatikan kepentingan dari pihak bisnis sendiri sebagai rekanan lelang. Pihak bisnis sebagai rekanan lelang juga harus memiliki kesiapan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diharapkan dalam good corporate governance (GCG) itu sendiri. Salah satu yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak bisnis adalah adanya etika bisnis (code of conduct). Dengan memiliki etika bisnis maka kecurangan-kecurangan dan indikasi untuk melakukan berbagai tindakan yang mengarah pada KKN akan dapat dihindarkan.

Selanjutnya dari adanya etika di dalam berbisnis, maka juga diperlukan penguatan dari asosiasi bisnis itu sendiri. Asosiasi bisnis tidak semata sebagai wadah perkumpulan bagi para anggotanya saja. Lebih dari itu asosiasilah yang memiliki peranan besar dalam menjamin berjalannya etika bisnis itu sendiri. Sehingga asosiasi bisnis haruslah mampu memberikan memberikan hukuman dan sanksi kepada para anggotanya yang melanggar etika bisnis yang telah menjadi kesepakatan secara bersama. Asosiasi juga harus berperan sebagai penyambung lidah pemerintah untuk mensosialisasikan peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sehingga rekanan lelang yang telah menjadi bagian dari asosiasi, benar-benar memahami apa yang menjadi prosedur dan metode pelelangan yang mereka ikuti.

Selanjutnya kesiapan dari rekanan lelang dapat dilihat dari seberapa besar penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada kegiatan perusahaan sehari-hari. Inilah yang menjadi cermin bahwa mampu tidaknya rekanan lelang tersebut mengikuti pengadaan barang/jasa secara online (e-procurement). Kemudian indikator lainnya yang dapat menunjukkan bahwa pihak bisnis siap adalah dengan adanya sanggahan yang dilakukan oleh rekanan pengadaan barang/jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya kepada pihak pemerintah jika terbukti tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku

3. Indikator Kesiapan Dari Sisi Masyarakat

Sebagai pihak penyelaras akhir dalam e-procurement, tidak ketinggalan juga diperlukan kesiapan dari masyarakat sendiri untuk dapat menunjukkan bahwa program ini telah siap untuk dijalankan. Untuk itu dari diri masyarakat juga harus tumbuh partisipasi aktif berupa keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement) untuk menerapkan e-procurement. Beberapa indikator yang menunjukkan adanya kesiapan tersebut, antara lain :

1. Tingkat melek internet dari masyarakat (e-literacy). Dimana masyarakat sebagai salah satu stakeholder dalam penentu kebijakan haruslah memahami berbagai informasi yang bisa mereka dapatkan dari penggunaan internet.

2. Pengadaan barang/jasa secara online (e-procurement) juga membutuhkan peranan besar Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian yang besar terhadap perkembangan teknologi informasi dan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

3. Adanya lembaga pendidikan yang terkait di bidang teknologi informasi.

4. Adanya kesediaan dari masyarakat untuk melakukan pengaduan kepada pihak yang berwenang terhadap pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terindikasi terdapat unsur KKN. Dengan adanya pengaduan dapat menunjukkan adanya rasa kepedulian dan sikap kritis masyarakat terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah.

4. Kesiapan Penerapan E-Procurement di Daerah

Konsep ini dapat menjelaskan mengenai kebutuhan akan adanya pengadaan barang/jasa secara online (e-procurement) dikarenakan dukungan dari teknologi informasi dan tekanan yang lebih kuat untuk menciptakan kontrol, efisiensi dan transparansi. Untuk menjalankan e-procurement sendiri tidak hanya membutuhkan kesiapan dari pemerintah daerah saja, keterlibatan lembaga bisnis dan masyarakat sipil juga perlu dipersiapkan. Ketika pra kondisi dari masing-masing stakeholder sudah benar-benar siap, maka kebijakan untuk menerapkan e-procurement baru dapat diimplementasikan.

Dengan adanya implementasi e-procurement, maka pengadaan barang/jasa pemerintah diharapkan akan semakin baik lagi. Pengadaan barang/jasa yang diharapkan lebih baik lagi berarti kemudian akan memenuhi prinsip-prinsip umum seperti adanya keadilan, kepatutan, transparansi, kompetitif, biaya yang efektif dan mampu mencapai nilai-nilai yang tidak bersifat komersial. Prinsip-prinsip inilah yang pada akhirnya merupakan perwujudan dari pencapaian nilai-nilai dalam Good Governance. Sehingga kegiatan untuk menerapkan e-procurement merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya mencapai nilai-nilai Good Governance itu sendiri.

- Sekian -

KESIAPAN E-PROCUREMENT DI DAERAH (Bagian 1)

E-procurement pada saat ini bukanlah lagi menjadi barang yang baru. E-procurement yang biasa diasosiasikan dengan e-tenderring atau e-bidding sudah mulai banyak dipergunakan di instansi pemerintahan. Kota Surabaya sebagai pelopor berjalannya e-procurement didunia pemerintahan telah menunjukkan bahwa pemerintah pun bisa mempergunakan teknologi informasi sebagai bagian dari pelayanannya. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan e-procurement dan seberapa besar perbedaan dan manfaatnya dibandingkan dengan cara konvensional? Bank Dunia memberikan sebuah definisi khusus mengenai e-procurement dari segi pemerintahan (electronic Government Procurement, e-GP) dalam E-GP: World Bank Draft Strategy (2003). Dinyatakan bahwa e-GP adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet oleh pemerintahan-pemerintahan dalam melaksanakan hubungan pengadaan dengan para pemasok untuk memperoleh barang, karya-karya, dan layanan konsultasi yang dibutuhkan oleh sektor publik. Pengertian yang diberikan oleh World Bank ini setidaknya mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Sarzana Fulvio di S. Ippolito (2003). Dimana ia menyebut e-procurement sebagai seperangkat teknologi, prosedur, dan langkah-langkah organisasional yang memungkinkan pembelian barang dan jasa secara online, melalui peluang-peluang yang ditawarkan oleh internet dan e-commerce.

Pengertian yang lebih lengkap dipaparkan oleh (Indrajit, 2003), dimana ia memberikan pemahaman sebagai berikut :

e-procurement merupakan suatu mekanisme pembelian masa kini atau dapat dikatakan sebagai teknik pembelian modern dengan memanfaatkan sejumlah aplikasi berbasis internet dan perangkat teknologi informasi terkait lainnya sebagai enabler dalam menjalankan proses tersebut. Sedangkan sistem e-procurement merupakan kumpulan dan sejumlah komponen-komponen atau entitas-entitas didalam perusahaan yang saling terkait satu dengan lainnya, yang memiliki fungsi untuk menjalankan konsep e-procurement didalam perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan komponen terkait misalnya : perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), sumber daya manusia (brainware) dan pemakai atau pengguna (users), kebijakan (policy), tata kelola (governance), proses (business process), dan infrastruktur perusahaan.

Melihat dari beberapa definisi yang telah diuraikan tersebut, maka e-procurement dapat dipahami sebagai suatu pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan media elektronik (mencakup teknologi informasi dan telekomunikasi) yang berbasis internet disertai dengan komponen-komponen lain yang terikat didalamnya. Adapun yang dimaksud dengan komponen-komponen lain yang terikat didalamnya tersebut dapat berupa perangkat-perangkat teknologi informasi, sumber daya manusia, prosedur, tata kelola dan juga kebijakan pendukung.

Adapun perbandingan antara pengadaan barang jasa secara online (e-procurement) dengan sistem konvensional dapat digambarkan sebagai berikut :


Melihat perbandingan yang ada, tentu kita akan lebih memilih e-procurement dibandingkan sistem tradisional yang saat ini masih banyak dijalankan. Namum perlu diingat bahwa e-procurement adalah sistem, bukan penyelesai segala permasalahan yang berkaitan dengan pelelangan. Agar e-procurement dapat memberikan banyak kemanfaatan bukan hanya bagi pemerintah saja, namun juga kepada para rekanan hingga berdampak kepada masyarakat luas, maka kesemuanya memerlukan kesiapan. Sehingga e-procurement bukan menjadi kebijakan dari pemerintah untuk pemerintah saja. E-procurement adalah sistem yang dibangun dengan kesiapan bersama dan demi mewujudkan kemanfaatan bersama.