Selasa, 30 Desember 2008

Birokrasi dan Politik di Daerah

Didalam pemerintahan daerah, sekretaris daerah memiliki peran yang vital, tidak hanya mengkoordinasikan kegiatan pembangunan didaerah. Lebih dari itu, sekretaris daerah adalah pucuk pimpinan birokrasi di daerah. Namun masalahnya sekretaris daerah kedudukannya tidak sekuat kewenangan yang dimilikinya. Sekretaris daerah jelas dipilih berdasarkan pertimbangan yang tepat oleh kepala daerah berdasarkan kesamaan visi mereka akan dibawa kemana daerah tersebut. Kita juga mengetahui semenjak keran demokrasi telah terbuka, yang menjadi kepala daerah bukan lagi berasal dari pejabat karir didaerah atau TNI/Polri aktif. Kepala daerah dipilih saat ini benar-benar merupakan pilihan rakyat, bisa dari pengurus parpol, pengusaha, pensiunan TNI/Polri atau siapapun mereka yang memiliki daya jual tinggi. Terkadang mereka yang terpilih menjadi kepala daerah ini memiliki pemahaman yang kurang mumpuni dibidang pemerintahan, namun karena dia adalah pucuk pimpinan tertinggi didaerah, maka seluruh kebijakan dijalankan seluruhnya atas keinginan dan kemauannya. Tentu perlu juga kita dipahami bahwa birokrasi adalah netral. Mereka bekerja berdasarkan aturan-aturan yang telah baku dan mengikuti perundang-undangan yang berlaku. Walaupun mereka berada dibawah kewenangan politis, namun pekerjaannya tidak. Harus didudukkan kembali, bahwa yang menjadi tugas dari aparat birokarasi adalah pelayanan kepada rakyat, bukan yang lainnya. Artinya mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas, pejabat eselon lainnya hingga kepada pegawai rendahan adalah birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat.

Sesuatu yang menjadi kendala adalah selain mereka harus netral, tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi masih tetap berada dibawah kepentingan politis. Senetral-netralnya seorang birokrat pemerintahan pada akhirnya akan bias. Hingga kalau dirasakan, warna suatu pemerintahan pasti merupakan warna dari kepala daerah itu. Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi masalah, jika kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja, namun apabila terjadi berbagai pembelokan, dapat dipastikan bahwa birokrasi tidak berjalan dengan netral. Untuk itu penting kiranya mereposisi kembali dimana sebenarnya kedudukan seorang sekretaris daerah. Dari tinjauan akademis sebagaimana yang dinyatakan oleh Carino (1994) dalam Thoha (2005) dinyatakan bahwa suatu birokrasi terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu birokrasi sebagai bagian atau subordinasi politik (Executive Ascendancy) ataukah birokrasi yang sejajar dengan politik (Bureaucratic Sublation atau attempt at co-equalitywith the executive).

Bentuk dari birokrasi sebagai subordinasi dari politik adalah kenyataan sebagaimana yang sekarang ini kita jumpai disemua bentuk pemerintahan daerah di Indonesia. Kepala daerah memilih sekretaris daerah dan selanjutnya berarti bahwa semua kebijakan di daerah berada dibawah kewenangan kepala daerah. Sekretaris daerah atau dalam hal ini perwujudan dari birokrasi tertinggi hanya berkewajiban menjalankan kebijakan saja. Tidak ada daya tawar (bargaining power) dengan pihak eksekutif, karena memang politiklah yang menjadi panglimanya. Sehingga apapun yang telah diputuskan kepala daerah wajib dijalankan oleh seluruh level aparat birokrasi (pemerintah).

Sedangkan yang kedua yaitu Bureaucratic Sublation yang diartikan sejajar. Namun makna sejajar disini bukan berarti bahwa kepala daerah dan sekretaris daerah kedudukannya sama. Dalam prakteknya sekretaris daerah tetaplah dipilih oleh kepala daerah, namun sebagai kepala birokrasi pemerintahan didaerah, seorang sekretaris daerah memiliki kedudukan yang sejajar dengan kepala daerah. Sehingga kepala daerah tidak memiliki intervensi yang besar terhadap PNS yang ada disuatu daerah. Intervensi disini bisa mencakup banyak hal, termasuk pengkariran pegawai, penempatan tugas, jabatan, termasuk juga kesejahteraan pegawai. Artinya walaupun seorang sekretaris daerah itu ditunjuk dan dipilih oleh kepala daerah, namun tidak berarti bahwa apapun warna kepala daerah akan menjadi warna dari pemerintahan dengan melibatkan pegawai yang ada. Sehingga yang diharapkan muncul adalah tidak terjadinya main mata dengan kekuasan politis, lebih terjaga netralitas pegawai serta menambah sikap profesionalime dalam bertugas.

Tentu saja ide yang kedua ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Sehingga masih perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai kedudukan sekretaris daerah pada pemerintahan ditataran daerah. Bukan berarti bahwa sistem yang sekarang, dimana birokrasi merupakan subordinasi politik itu jelek, dan bukan berarti juga jika birokrasi sejajar dengan politik, maka pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Semuanya tentu memerlukan perhitungan yang lebih cermat. Pada akhirnya kita berharap baik sistem yang ada maupun personal yang menjalankannya dapat berjalan dengan sinergis. Sebagaimana pameo yang sering kita dengar bahwa : “Sistem yang baik tanpa ditunjang dengan manusia yang baik akan menimbulkan kekacauan, sedangkan manusia yang baik tetapi berjalan pada sistem yang tidak baik maka akan menimbulkan banyak permasalahan”.

Sumber gambar : Miftah Thoha, Model-Model Dalam Membangun Birokrasi Pemerintahan, 2006.

Wallahu ‘alam

Rabu, 24 Desember 2008

Cerita Tentang Arun Gandhi

Saya ingin berbagi pengalaman berharga ketika saya sebagai orangtua ikut kembali bersekolah. Pendidikan untuk orangtua yang dilaksanakan selama 2 (dua) hari yaitu pada tanggal 13-14 Desember 2008 didukung oleh Rumah Sakit Ibu dan Anak Zainab Pekanbaru, Biro A'iliyah dan Auladi Parenting School memberikan banyak pengalaman berharga bagaimana mendidik anak sebagai buah terkasih. Ternyata banyak dari kita memang sudah siap untuk menikah, namun ternyata belum siap untuk memiliki anak. Banyak sekali cerita yang menyedihkan ketika anak menjadi sasaran pelampiasan kemarahan, ataupun karena kesalahan yang kecil yang dibuatnya anak tersebut terganggu psikologisnya hingga ia dewasa. Tentu kita tidak ingin menjadi orangtua yang seperti itu, kita tentulah menginginkan anak-anak kita kelak menjadi orang yang bermartabat, memiliki budi pekerti luhur serta berakhlakul karimah. Sebagai pendidik pertama, kita harus mampu mengarahkan mereka ke jalan yang penuh barakah ini. Salah satu kisah nyata tentang cara mendidik anak tanpa kekerasan dan menumbuhkan keteladanan seumur hidupnya dapat kita baca dalam cerita berikut ini. Semoga cerita yang saya kutip ini dapat menjadi renungan kita bersama. Selamat Menikmati.....

Berikut ini adalah cerita masa muda Dr. Arun Gandhi (cucu dari Mahatma Gandhi - Pendiri Lembaga M.K.Gandhi)

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan.

Kami tinggal jauh dipedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, “Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”

Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, “Kenapa kau terlambat?”

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, “Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.” Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.

Lalu ayah berkata, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”

Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi.

“Sering kali saya berpikir mengenai peristiwa ini dan merasa heran. Seandainya Ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.”

Sumber : http://www.yauhui.net/kekuatan-tanpa-kekerasan/

Selasa, 09 Desember 2008

Bahasa dan Makna

Mungkin karena dianggap bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, maka segala tindak tanduk yang dilakukan mestilah menunjukkan bahwa kita memang berbudaya. Tak terkecuali bagaimana menggunakan lisan tuk berbicara. Walhasil dengan menggunakan bahasa yang lebih berbudaya, maka beberapa kata dalam bahasa Indonesia mengalami pembiasan arti. Contoh saja untuk menyebut orang miskin, sepertinya kurang enak didengar, gak etis jika dibicarakan. Orang lebih nyaman jika menyebut orang miskin sebagai orang yang kurang mampu. Kedengarannya renyah, lebih beradab, dan tidak menyinggung perasaan yang menjadi topik bahasan. Tentu saja bisa dimaklumi kalau tujuan dari bahasa tadi hanya untuk memperhalus dan menunjukkan orang tersebut memiliki budaya yang tinggi. Namun dari bahasa juga akan mengarahkan seperti apa suatu kebijakan akan dibuat. Dalam tataran kebijakan negara, kata-kata kurang mampu bisa diartikan bahwa orang tersebut adalah orang yang sudah memiliki tetapi kurang berharta. Kurang pun disini masih bisa diartikan banyak sekali versinya. Kurang berapa banyak, persentasenya berapa, sehingga indikatornya tidak jelas. Akibatnya orang-orang miskin yang lebih dimanusiakan dengan kata-kata kurang mampu, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai orang miskin. Dalam kasus kisruh pembagian BLT, pembiasan kata-kata tadi bisa berakibat fatal. Karena dianggap kurang mampu, pada akhirnya yang bertugas mendata pun tidak mencatat mereka sebagai orang miskin. Karenanya banyak juga dari orang miskin yang tidak mendapat jatah BLT, gara-gara hanya dikategorikan sebagai orang yang kurang mampu. Besar kan pengaruhnya dari kata-kata yang lebih berbudaya ini terhadap kebijakan negara.

Ada lagi kasus lain yaitu untuk lebih menghormati keprofesian sekelompok orang, dengan alasan persamaan hak azazi manusia, maka istilah pelacur diperhalus menjadi wanita tuna susila. Padahal profesi yang dilakoninya sama, orangnya pun sama juga, kenapa juga perlu dibuat perubahan. Toh menurut saya nilai yang dikandung dari bahasa itu sama saja. Apa dengan menggubah bahasa membuat profesi tersebut lebih terhormat? Saya pikir tidak juga. Jika menonton televisi khususnya acara ”buser” dan ”patroli”, tidak ada pengaruhnya bagi aparat hukum entah itu pelacur atau wanita tuna susila, tetap saja menjadi sasaran penangkapan untuk dibina dipanti-panti sosial. Terus apa efek dari memperhalus bahasa tadi.? Jika dilihat tujuan mereka yang memperhalus bahasa, maka jelas tidak ada juga pengaruhnya tehadap ”karir” seseorang dibidang itu.

Jika memang tujuan dari memperhalus bahasa itu adalah untuk membuat seseorang lebih terhormat dan lebih bermartabat, maka saat ini kita harus mengajak para ahli bahasa untuk merumuskan berbagai kebijakan negara. Selain itu supaya tidak timbul kerancuan makna dari yang mendengar atau membaca kata-kata tersebut, kalau kita bersepakat, mari kita rubah kembali EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), agar memang kita lebih menjadi bangsa yang lebih berbudaya dan lebih bermartabat. Jika tidak bersepakat, maka konsekuen saja menggunakan bahasa yang sudah ada, tidak lagi perlu ada penambahan atau penggantian kata-kata yang akhirnya malah menimbulkan kerancuan saja.

Bagaimana menurut saudara usulan yang kita perbincangkan ini. Saya ”salah” atau ”kurang benar” ya......?

Wallahu ‘alam