Rabu, 26 November 2008

Serahkan Pada Ahlinya

Apel pagi pertama setelah pelantikan Gubri dan Wagubri di Gubernuran tanggal 24 Nopember 2008 kemarin berlangsung cukup khidmat. Dalam pidatonya, Gubri mengingatkan kembali akan pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance), dan bagaimana pencapaian kinerja dari tiap SKPD. Namun kegiatan seremonial ini menjadi sedikit berbeda disaat pembacaan doa. Menurut saya, inilah yang sepertinya renyah untuk diperbincangkan.

Pembaca doa, saat itu mengajak kepada seluruh peserta apel untuk bermunajat agar SOTK baru di Pemerintah Provinsi Riau nantinya benar-benar membawa kemaslahatan kepada masyarakat. Kemudian peserta apel kembali diajak berdoa agar kiranya pejabat yang akan menduduki SOTK yang baru nantinya benar-benar merupakan orang yang tepat, dan memang ahlinya pada bidang tersebut. Tak lupa beliau mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW : “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah akan kehancurannya”. Kutipan yang sangat pas dengan tema doa.

Doa yang disampaikan oleh yang bertugas pada hari itu menurut saya bukan hanya sekedar doa saja. Ada suatu keinginan baru yang dimohonkan, harapan akan adanya perubahan. Kata kunci yang bisa ditangkap dari untaian doa yang indah itu adalah profesionalisme. Seperti sudah sangat rapi dan diatur oleh-Nya, pidato yang berisikan tentang pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance) ini kemudian lalu ditutup dengan munajat bersama memohon agar pejabat-pejabat yang ditunjuk nantinya adalah mereka yang merupakan ahli dibidangnya

Sudah sangat tepat kiranya padanan dari dua kutub yang bersinergis ini. Good governance hanya dapat diwujudkan dengan adanya pejabat-pejabat yang profesional saja. Ini merupakan kebutuhan yang tidak dapat disubstitusikan. Konteks profesional yang diharapkan pun adalah dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dimana mereka tidak hanya merupakan orang yang ahli dibidangnya saja, lebih dari itu profesional juga adalah mereka yang bisa memberikan teladan kepada institusi dimana mereka bekerja. Dengan demikian antara pencapaian good governance dengan profesionalisme adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kedua-duanya saling terikat, berkelindan, dan saling memperkuat. Semoga munajat kita di pagi senin itu mendapat ijabah dari-Nya. Amiin...

Wallahu ‘alam

Kamis, 13 November 2008

Ketika Peran Pemerintah Dipertanyakan

Apa Peran Pemerintah ?

Ketika pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa disaat krisis ekonomi global datang, ketika pemerintah dipertanyakan sikapnya disaat harga jual minyak dunia sudah menurun, tetapi harga BBM subsidi masih tetap saja tidak berubah. Apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah ini. Apa tugas pemerintah hanya beramai-ramai melakukan panen raya bersama disaat panen sedang surplus, ataukah memfasilitasi perjalanan haji yang pada tahun sebelumnya banyak jamaah yang kelaparan karena ketidakberesan pengelolaan catering di Saudi Arabia sana. Memang perlu dipertanyakan kembali, seberapa jauh peran pemerintah dalam melayani masyarakatnya. Apakah tugas pemerintah itu membuat berbagai macam aturan yang mengikat, sehingga jelas kedudukannya bahwa pemerintah adalah yang memerintah, sedangkan masyarakat adalah yang diperintah.

Mereka dan Kita

Di negara-negara maju, diantaranya G-7, telah terjadi banyak sekali perubahan peran pemerintah. Pemerintah tidak lagi dianggap segalanya, sentral dari segala sentral kehidupan bernegara. Pemerintah dijadikan sebagai motivator dan fasilitator dalam segala aspek kehidupan, terutama bidang ekonomi. Pemerintah hanya mengatur hal-hal yang dianggap perlu saja dan tidak menyelenggarakan semua aktifitas pelayanan. Bisa dimaklumi, hal tersebut terjadi karena perkembangan industri dan jasa dijadikan fokus perhatian utama dari mereka. Pihak swasta diberikan keleluasaan untuk mengembangkan usaha mereka, dan campur tangan pemerintah kepada mereka diperkecil. Sehingga yang terlihat adalah swastalah yang mengendalikan negara. Namun sebenarnya tidaklah demikian, untuk sektor tertentu, pemerintah masih mempunyai campur tangan yang besar. Terutama untuk sektor-sektor dimana pemerintah harus memberikan proteksi yang lebih. Disaat negara-negara maju menghendaki terbukanya keran impor bagi produk-produk mereka ke negara-negara berkembang, pada saat itu juga mereka memproteksi produk-produk pertanian yang dimilikinya. Sebagai contoh yaitu Jepang dan Amerika, walaupun mereka negara yang sudah maju, namun sektor pertanian tetap menjadi fokus perhatian yang utama, karena menyangkut ketersediaan bahan pangan masyarakatnya. Sehingga walaupun Jepang dan Amerika sudah dikategorikan sebagai negara industri, tidak serta merta melupakan sektor pertanian yang dianggap bagian yang penting yang tidak boleh diberikan secara leluasa pengelolaannya kepada pihak swasta.

Bandingkan dengan Indonesia, di Tahun 2008 ini kita dianggap telah surplus beras, tetapi ingatkah kita di Tahun 2006 terpaksa kita mengimpor beras dari negara tetangga kita di ASEAN. Di saat ini juga kita perhatikan, adakah langkah yang dilakukan oleh pemerintah ketika harga TBS (tandan buah segar) sawit yang turun dengan sangat drastis. Sehingga upah untuk memanen dianggap lebih mahal dariapada hasil yang dipanen. Adakah yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikannya untuk tidak tambah terpuruk? Hal tersebut karena proteksi tidak dilakukan terhadap produk-produk pertanian kita. Adakah perlindungan pemerintah kepada para petani? Salah satu kasus yang cukup menarik terjadi di daerah Jawa Timur, dimana petani digugat hingga ke pengadilan oleh perusahaan pemilik benih, karena dianggap melakukan pemalsuan benih. Tidak ada pembelaan hukum yang diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban mereka. Bandingakan dengan mereka negara maju. Mereka membatasi impor untuk produk-produk pertanian, agar tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan. Dengan pembatasan yang sangat ketat dan berbagai alasan, perlindungan sektor pertanian harus dilakukan. Walaupun hal tersebut mendapatkan protes dari negara-negara berkembang, bahkan dikatakan berlaku tidak fair, pada akhirnya kebijakan itu masih mereka jalankan hingga saat ini.

Menuju Good Governance

Mengurai masalah tanpa menimbulkan masalah yang baru adalah yang semua kita harapkan. Ada kekhawatiran jika pihak swasta diberikan ruang yang lebih luas untuk berusaha, maka negara akhirnya dianggap tidak memiliki kedudukan lagi (melayu = marwah). Namun apabila seluruh sektor kehidupan diatur oleh pemerintah, maka dianggap bebannya akan teramat berat, belum lagi dengan adanya mismanagement dalami pengelolaan BUMN. Bukan memberikan keuntungan, sebaliknya pemerintah selalu dipusingkan dengan banyaknya BUMN yang merugi. Jadi apakah yang sebaiknya dilakukan ? memperkecil peran pemerintah, atau pemerintah diberikan kewenangan yang sebanyak-banyaknya sehingga seluruh sektor kehidupan berada dibawah kontrol pemerintah.

Margaret Thatcher dan Reagen sebagai penggerak kaum monetaris yang menganjurkan peran negara dengan minimalis menyatakan bahwa pemerintah hanya perlu berperan melindungi hak milik, memelihara ketertiban dan stabilitas sosial, serta mempertahankan negara dari sebuan musuh (Mas’oed : 158). Kemudian diera selanjutnya setelah pasar berjalan tidak efisien dan dan sama sekali tidak mampu menjalankan fungsi yang diperlukan masyarakat, maka berkembanglah paham neo-liberalisme. Mereka beranggapan perlunya campur tangan pemerintah, namun campur tangan disini persoalannya bukan ada atau tidaknya intervensi pemerintah, tetapi sifat dari intervensi itu sendiri (yang termasuk tokoh didalamnya, Deepak Lal, Jadish Bhagwati, dan Anne Krueger dalam Mas’oed 169-173).

Sehingga ketika pada awalnya New Public Administration yang menyatakan bahwa the best government is the least government perlu direvisi kembali. Mungkin pernyataan yang tepat adalah sebagaimana dinyatakan oleh Clinton (1996) bahwa bukan kemudian least government tetapi efficient government. (Dwijowijoto, 2006:10). Jadi pada intinya bukan kemudian bagaimana untuk menciptakan good governance dengan mengurangi negara, namun negara harus mampu menjadikan dirinya sebagai lembaga yang penting yang efisien dan mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

Selanjutnya apa yang harus dilakukan agar menjadikan negara itu kuat. Dwijowijoto kemudian menyatakan bahwa yang kita inginkan adalah bagaimana membangun negara yang kuat tanpa kemudian negara tersebut menjadi negara yang totaliter. Yang kemudian ia menyatakan bahwa untuk menciptakan negara yang kuat itu adalah dengan kebijakan-kebijakan yang unggul sebagaimana tercermin dalam semangat good governance itu sendiri seperti tranparan dan akuntabel terhadap rakyat. (Dwijowijoto, 2006:17). Selain itu karena dianggap tugas negara yang sedemikian besar, maka satu-satunya lembaga yang mampu menegaskan hakikat kenegaraan seperti penegakan hukum dan menciptakan kebijakan-kebijakan adalah negara itu sendiri. Maka Fukuyama kemudian berpendapat bahwa sudah saatnya kita memperkuat negara dengan terlebih dahulu memahami perannya dalam masyarakat. (Fukuyama, 2005 : 10).

Penutup

Walaupun semakin banyak tekanan yang diberikan oleh banyak pihak agar pemerintah semakin mengurangi perannya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah tetaplah aktor utama untuk membangun negara ini. Pilihan terhadap banyak tipe pemerintahan dan bagaimana kemudian pemerintahan itu mampu memujudkan good governance menjadi harapan banyak pihak untuk mengenalinya lebih lanjut. Namun dalam kenyataannya berbagai pilihan pemerintahan yang ada lebih banyak bersifat kasusistik dibandingkan mencari pola dan format yang ideal apa yang seharusnya dipilih oleh suatu pemerintahan itu sendiri. Pada akhirnya menjatuhkan pilihan yang ideal terhadap suatu negara menjalankan sistem pemerintahan tidak terlepas bagaimana pemerintah mampu menciptakan good governance dan memberikan kebijakan publik yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Wallahu ‘alam

Selasa, 11 November 2008

Menjadi Pribadi Unggul

Tentulah setiap orang menginginkan menjadi yang ”ter –”, entah itu terbaik, terpintar, terkaya, tercantik, tertampan, tersehat, terkuat, atau apapun itu. Namun apakah kita menjumpai bahwa diri ini termasuk bagian dari yang diinginkan itu. Teramat jarang kita menjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Namun apakah setelah kita tidak menjadi yang ”ter –” itu, menyebabkan kita menjadi tak berdaya.

Thomas Alfa Edison seorang penemu bohlam, dia adalah orang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan formalnya karena dianggap tidak mampu dan dianggap berbeda dengan orang kebanyakan. Namun berkat dorongan ibunya dan keinginanannya yang kuat untuk belajar akhirnya ia bisa menciptakan bola lampu pijar, yang sampai sekarang hasil ciptaannya tersebut dapat dinikmati oleh hampir semua orang didunia ini. Syeikh Ahmad Yassin, seorang pemimpin spiritual Hamas adalah seorang yang buta dan juga tuli. Namun apakah dia kemudian berdiam diri saja dengan kelemahannya. Syeikh ini sampai diakhir hayatnya tidak pernah lelah untuk terus mengobarkan semangat perlawanan kepada kaum zionis dan kemudian mampu menggerakkan para pemuda, ibu-ibu, bahkan anak-anak untuk menjemput syahid. Adalagi Bilal bin Rabah, seorang sahabat Rasulullah SAW dari kalangan budak berkulit hitam, ia tidak pernah merasa rendah diri dengan fisiknya. Bahkan Rasulullah SAW pun telah mendengar terompahnya di surga. Subhanallah, orang yang masih hidup di dunia pada saat itu, namun langkah terompahnya sudah terdengar berada di surga.

Kenapa orang-orang yang nampak secara fisik lemah dan tidak tampak kelebihan apa-apa ini bisa menjadi begitu unggul? Satu hal yang harus kita pahami bahwa mereka meyakini bahwa mereka adalah yang terunggul. Kenapa demikian, karena dari awal kita tercipta di dunia ini memang sudah unggul. Dari jutaan sel sperma yang berebut membuahi sel telur, ternyata kitalah yang terunggul, kitalah yang kemudian menjadi manusia. Kitalah yang terlahir dengan sempurna dan berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Ini sudah menunjukkan bahwa betapa unggulnya kita.

Ternyata menjadi unggul itu tidak mesti menjadi yang ”ter –”. Namun pribadi yang unggul adalah mereka tahu secara persis potensi apa yang mereka miliki, dan dengan kemampuan yang optimal, mereka mampu menggerakkan setiap elemen yang bergerak disekitarnya itu. Menjadi unggul tidklah sulit, yang tersulit adalah bagaimana kita dapat menemukan potensi unggul yang terdapat didiri kita masing-masing. Setiap orang tentu bisa menjadi unggul, bahkan orang yang cacat secara fisik sekalipun. Sadarilah, bahwa saat ini kita terlahir dengan kesempurnaan, tidak hanya satu keunggulan yang bisa kita buat, ada banyak keunggulan yang bakal tercipta. Selain itu, turutlah berbahagia dengan keunggulan orang lain, karena dengan seperti itu kita tetap bisa menjaga ruang kita untuk terus meningkatkan kemampuan diri. Teruslah bersemangat sebagai insan yang tetap unggul saudaraku.

Wallahu ‘alam