Mungkin karena dianggap bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, maka segala tindak tanduk yang dilakukan mestilah menunjukkan bahwa kita memang berbudaya. Tak terkecuali bagaimana menggunakan lisan tuk berbicara. Walhasil dengan menggunakan bahasa yang lebih berbudaya, maka beberapa kata dalam bahasa Indonesia mengalami pembiasan arti. Contoh saja untuk menyebut orang miskin, sepertinya kurang enak didengar, gak etis jika dibicarakan. Orang lebih nyaman jika menyebut orang miskin sebagai orang yang kurang mampu. Kedengarannya renyah, lebih beradab, dan tidak menyinggung perasaan yang menjadi topik bahasan. Tentu saja bisa dimaklumi kalau tujuan dari bahasa tadi hanya untuk memperhalus dan menunjukkan orang tersebut memiliki budaya yang tinggi. Namun dari bahasa juga akan mengarahkan seperti apa suatu kebijakan akan dibuat. Dalam tataran kebijakan negara, kata-kata kurang mampu bisa diartikan bahwa orang tersebut adalah orang yang sudah memiliki tetapi kurang berharta. Kurang pun disini masih bisa diartikan banyak sekali versinya. Kurang berapa banyak, persentasenya berapa, sehingga indikatornya tidak jelas. Akibatnya orang-orang miskin yang lebih dimanusiakan dengan kata-kata kurang mampu, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai orang miskin. Dalam kasus kisruh pembagian BLT, pembiasan kata-kata tadi bisa berakibat fatal. Karena dianggap kurang mampu, pada akhirnya yang bertugas mendata pun tidak mencatat mereka sebagai orang miskin. Karenanya banyak juga dari orang miskin yang tidak mendapat jatah BLT, gara-gara hanya dikategorikan sebagai orang yang kurang mampu. Besar kan pengaruhnya dari kata-kata yang lebih berbudaya ini terhadap kebijakan negara.
Ada lagi kasus lain yaitu untuk lebih menghormati keprofesian sekelompok orang, dengan alasan persamaan hak azazi manusia, maka istilah pelacur diperhalus menjadi wanita tuna susila. Padahal profesi yang dilakoninya sama, orangnya pun sama juga, kenapa juga perlu dibuat perubahan. Toh menurut saya nilai yang dikandung dari bahasa itu sama saja. Apa dengan menggubah bahasa membuat profesi tersebut lebih terhormat? Saya pikir tidak juga. Jika menonton televisi khususnya acara ”buser” dan ”patroli”, tidak ada pengaruhnya bagi aparat hukum entah itu pelacur atau wanita tuna susila, tetap saja menjadi sasaran penangkapan untuk dibina dipanti-panti sosial. Terus apa efek dari memperhalus bahasa tadi.? Jika dilihat tujuan mereka yang memperhalus bahasa, maka jelas tidak ada juga pengaruhnya tehadap ”karir” seseorang dibidang itu.
Jika memang tujuan dari memperhalus bahasa itu adalah untuk membuat seseorang lebih terhormat dan lebih bermartabat, maka saat ini kita harus mengajak para ahli bahasa untuk merumuskan berbagai kebijakan negara. Selain itu supaya tidak timbul kerancuan makna dari yang mendengar atau membaca kata-kata tersebut, kalau kita bersepakat, mari kita rubah kembali EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), agar memang kita lebih menjadi bangsa yang lebih berbudaya dan lebih bermartabat. Jika tidak bersepakat, maka konsekuen saja menggunakan bahasa yang sudah ada, tidak lagi perlu ada penambahan atau penggantian kata-kata yang akhirnya malah menimbulkan kerancuan saja.
Bagaimana menurut saudara usulan yang kita perbincangkan ini. Saya ”salah” atau ”kurang benar” ya......?
Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar