Didalam pemerintahan daerah, sekretaris daerah memiliki peran yang vital, tidak hanya mengkoordinasikan kegiatan pembangunan didaerah. Lebih dari itu, sekretaris daerah adalah pucuk pimpinan birokrasi di daerah. Namun masalahnya sekretaris daerah kedudukannya tidak sekuat kewenangan yang dimilikinya. Sekretaris daerah jelas dipilih berdasarkan pertimbangan yang tepat oleh kepala daerah berdasarkan kesamaan visi mereka akan dibawa kemana daerah tersebut. Kita juga mengetahui semenjak keran demokrasi telah terbuka, yang menjadi kepala daerah bukan lagi berasal dari pejabat karir didaerah atau TNI/Polri aktif. Kepala daerah dipilih saat ini benar-benar merupakan pilihan rakyat, bisa dari pengurus parpol, pengusaha, pensiunan TNI/Polri atau siapapun mereka yang memiliki daya jual tinggi. Terkadang mereka yang terpilih menjadi kepala daerah ini memiliki pemahaman yang kurang mumpuni dibidang pemerintahan, namun karena dia adalah pucuk pimpinan tertinggi didaerah, maka seluruh kebijakan dijalankan seluruhnya atas keinginan dan kemauannya. Tentu perlu juga kita dipahami bahwa birokrasi adalah netral. Mereka bekerja berdasarkan aturan-aturan yang telah baku dan mengikuti perundang-undangan yang berlaku. Walaupun mereka berada dibawah kewenangan politis, namun pekerjaannya tidak. Harus didudukkan kembali, bahwa yang menjadi tugas dari aparat birokarasi adalah pelayanan kepada rakyat, bukan yang lainnya. Artinya mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas, pejabat eselon lainnya hingga kepada pegawai rendahan adalah birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat.
Sesuatu yang menjadi kendala adalah selain mereka harus netral, tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi masih tetap berada dibawah kepentingan politis. Senetral-netralnya seorang birokrat pemerintahan pada akhirnya akan bias. Hingga kalau dirasakan, warna suatu pemerintahan pasti merupakan warna dari kepala daerah itu. Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi masalah, jika kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan pihak tertentu saja, namun apabila terjadi berbagai pembelokan, dapat dipastikan bahwa birokrasi tidak berjalan dengan netral. Untuk itu penting kiranya mereposisi kembali dimana sebenarnya kedudukan seorang sekretaris daerah. Dari tinjauan akademis sebagaimana yang dinyatakan oleh Carino (1994) dalam Thoha (2005) dinyatakan bahwa suatu birokrasi terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu birokrasi sebagai bagian atau subordinasi politik (Executive Ascendancy) ataukah birokrasi yang sejajar dengan politik (Bureaucratic Sublation atau attempt at co-equalitywith the executive).
Bentuk dari birokrasi sebagai subordinasi dari politik adalah kenyataan sebagaimana yang sekarang ini kita jumpai disemua bentuk pemerintahan daerah di Indonesia. Kepala daerah memilih sekretaris daerah dan selanjutnya berarti bahwa semua kebijakan di daerah berada dibawah kewenangan kepala daerah. Sekretaris daerah atau dalam hal ini perwujudan dari birokrasi tertinggi hanya berkewajiban menjalankan kebijakan saja. Tidak ada daya tawar (bargaining power) dengan pihak eksekutif, karena memang politiklah yang menjadi panglimanya. Sehingga apapun yang telah diputuskan kepala daerah wajib dijalankan oleh seluruh level aparat birokrasi (pemerintah).
Sedangkan yang kedua yaitu Bureaucratic Sublation yang diartikan sejajar. Namun makna sejajar disini bukan berarti bahwa kepala daerah dan sekretaris daerah kedudukannya sama. Dalam prakteknya sekretaris daerah tetaplah dipilih oleh kepala daerah, namun sebagai kepala birokrasi pemerintahan didaerah, seorang sekretaris daerah memiliki kedudukan yang sejajar dengan kepala daerah. Sehingga kepala daerah tidak memiliki intervensi yang besar terhadap PNS yang ada disuatu daerah. Intervensi disini bisa mencakup banyak hal, termasuk pengkariran pegawai, penempatan tugas, jabatan, termasuk juga kesejahteraan pegawai. Artinya walaupun seorang sekretaris daerah itu ditunjuk dan dipilih oleh kepala daerah, namun tidak berarti bahwa apapun warna kepala daerah akan menjadi warna dari pemerintahan dengan melibatkan pegawai yang ada. Sehingga yang diharapkan muncul adalah tidak terjadinya main mata dengan kekuasan politis, lebih terjaga netralitas pegawai serta menambah sikap profesionalime dalam bertugas.
Tentu saja ide yang kedua ini belum pernah diterapkan di Indonesia. Sehingga masih perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai kedudukan sekretaris daerah pada pemerintahan ditataran daerah. Bukan berarti bahwa sistem yang sekarang, dimana birokrasi merupakan subordinasi politik itu jelek, dan bukan berarti juga jika birokrasi sejajar dengan politik, maka pemerintahan akan berjalan dengan lebih baik. Semuanya tentu memerlukan perhitungan yang lebih cermat. Pada akhirnya kita berharap baik sistem yang ada maupun personal yang menjalankannya dapat berjalan dengan sinergis. Sebagaimana pameo yang sering kita dengar bahwa : “Sistem yang baik tanpa ditunjang dengan manusia yang baik akan menimbulkan kekacauan, sedangkan manusia yang baik tetapi berjalan pada sistem yang tidak baik maka akan menimbulkan banyak permasalahan”.
Sumber gambar : Miftah Thoha, Model-Model Dalam Membangun Birokrasi Pemerintahan, 2006.
Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar