Berbicara mengenai hiburan, tentulah setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda. Karena memang yang menghibur setiap orang itu juga berbeda.
Film selain menghibur juga membawa pesan tersendiri. Setiap film pastilah memiliki pesan yang ingin disampaikan entah itu baik menurut kita ataupun tidak. Sehingga di zaman orde baru dulu setiap film harus melalui proses seleksi yang ketat untuk bisa ditayangkan. Hanya film-film yang menurut pemerintah layak sajalah yang bisa beredar di bioskop-bioskop seantero Indonesia. Di era reformasi yang lebih terbuka pada saat ini, industri film semakin menggeliat. Puluhan judul muncul dan bahkan film-film bergenre horror laris manis bak kacang goreng. Kemudian film-film bertema cinta remaja juga saling bersaing memperebutkan pasar yang sedang naik daun ini.
Bagaimana dengan pelaku perfilman di Riau. Yang paling sederhana dari para pelaku di bidang perfilman ini adalah pengelola bioskop yang muncul di beberapa tempat di Riau. Pilihan film apa yang akan ditayangkan, berapa lama film tersebut tayang dan seberapa sering diputar, mereka semua yang menentukan. Masyarakat cuma diberi pilihan mau menonton atau tidak. Jika tidak mau menonton, terserah. Tidak ada “choice” bagi para calon penonton disana.
Pada akhirnya industri film benar-benar menjadi sosok yang komersil, pilihannnya adalah apapun yang banyak ditonton masyarakat dengan tingkat “load factor” tinggi. Film-film seperti ini biasanya adalah film-film yang ringan dan tidak membuat orang banyak mikir ketika menonton. Film-film denga tema horror dan cinta remajalah yang kemudian menempati rangking teratas. Sehingga kita dapat mencermati bagaimana watak dan perilaku warga masyarakat di suatu daerah juga berdasarkan genre film-film di bioskop yang sering diputar. Inilah yang terjadi juga di Riau saat ini.
Film yang disuguhi kepada kita seringkali monoton, malah terkadang (maaf) terkesan kurang berbobot. Pesan yang ingin disampaikan menjadi sangat kabur, karena memang yang lebih dikejar adalah keuntungan belaka. Padahal film merupakan sarana yang paling efektif untuk menyampaikan pesan. Salah satu film yang menurut saya bisa memberikan pesan moral yang sangat baik adalah Film Laskar Pelangi, walaupun belum bisa ditonton disini, (karena memang belum tayang), namun novelnya sudah saya nikmati berulang-ulang kali. Harusnya film yang seperti ini, bsa menjadi prioritas tayang dari para pengelola bioskop. Pesan yang ingin disampaikan juga jelas, bahwa apapun kondisinya, bahwa pendidikan tetaplah menjadi prioritas utama. Ditengah suasana masyarakat kita yang serba materialis dan hedonis, saya pikir Laskar Pelangi bisa menjadi oase yang menghibur dan menyadari betapa beruntungnya diri kita. Di berbagai kota besar lainnya pun, film ini sangat booming, hingga meraup keuntungan yang besar. Tetapi di Riau film ini sampai sekarang belum bisa tayang. Apakah yang salah disini? Para pengelola bioskop yang merasa bahwa film ini dianggap tidak akan komersil jika ditayangkan, atau karena masyarakat sendiri yang tidak tertarik dengan film ini.
Seharusnya para pelaku perfilman di daerah khususnya Riau bisa memberikan hiburan yang lebih bermakna kepada kami calon penonton film. Kalau dengan alasan komersialitas, tentu nama Laskar Pelangi sudah cukup komersil diketahui oleh para penggemarnya. Berkaitan dengan upaya untuk mendukung pengentasan K2I, salah satunya di bidang pendidikan, tentu ada keselarasan disana. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Riau tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, namun dorongan dari berbagai pihak menjadi hal yang mutlak juga diperlukan. Tak terkecuali di sektor hiburan, mereka harus bisa memberikan hiburan yang tidak hanya bisa menghibur, tetapi ada makna yang bisa menggunggah dari para penikmatnya. Laskar Pelangi adalah salah satu alternatif hiburan dan sekaligus sarana pendidikan yang cukup efektif dinikmati oleh masyarakat Riau. Semoga para pelaku perfilman di Riau bisa mendengar harapan dari kami penikmat hiburan yang tidak diberikan “choice” apapun.
Semoga.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar